Menjelang pilpres (pemilihan Presiden) semua partai sudah ancang-ancang siapa yang akan diusungnya untuk menjadi capres (calon Presiden). Ada yang sudah fixed menentukannya, ada yang sedang menjalankan konvensi, ada pula yang masih menimbang-nimbang.
Di negara kita perihal mekanisme pencapresan partai masih belum mapan dan tidak seragam. Masing-masing partai punya mekanisme sendiri, misalnya Partai Demokrat dengan jalan konvensi, PDIP melalui penunjukan oleh Ketua Umumnya, partai lain mungkin cukup dengan lobi antar-elite pengurusnya.
Untuk menetapkan capres bagi partai memang bukan perkara mudah. Mereka memiliki beberapa pertimbangan. Umumnya, partai-partai menentukannya berdasarkan tingkat kemungkinan terpilih (elektabilitas), kemampuan untuk memimpin negara (kapabilitas), dan keterkenalan (popularitas).
Secara khusus, partai mencari figur yang kepadanya dikenakan syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki oleh seorang capres yang ditentukan sebelumnya.
Aspek elektabilitas dan popularitas dapat diketahui dengan relatif mudah dengan melakukan survai yang memenuhi syarat kaidah-kaidah ilmiah, terutama metodologi yang digunakan.
Sedangkan aspek kapabilitas sulit diketahui dengan pasti karena kemampuan seseorang untuk memimpin negara memiliki dimensi yang luas dan sering bernuansa subjektif. Pada aspek inilah perdebatan biasanya muncul di internal partai. Bagaimana pun, setiap partai harus merumuskan kapabilitas capres yang dibuat dalam bentuk syarat-syarat yang bersifat objektif.
Sebuah partai politik akan didukung oleh publik (konstituen) tergantung pada akuntabilitasnya. Artinya, partai akan mendapat dukungan luas bila ia mampu mempertanggung-jawabkan visi & misinya, pencapaian visi & misi tersebut, dan perilaku kader inti atau pengurusnya, terutama yang menjadi anggota parlemen.
Di luar itu, sebuah partai juga akan dinilai oleh publik terhadap fungsi yang dijalankannya, yaitu kemampuan untuk mengumpulkan harapan dan kepentingan politik dari publik tentang kehidupan bernegara (fungsi agregasi kepentingan), pemilahan kepentingan-kepentingan yang mesti diprioritaskan untuk diperjuangkan (fungsi segregasi kepentingan), memperjuangkan agar kepentingan publik dapat diagendakan dan dianggarkan (fungsi artikulasi kepentingan), melakukan kontrol pelaksanaan agenda dan anggaran (fungsi kontrol politik), komunikasi kepada publik (fungsi komunikasi politik), dan melakukan pendidikan tentang etika politik, sistem politik, hak dan kewajiban politik, dan sebagainya yang intinya meningkatkan pengetahuan dan praktik politik yang bermartabat (fungsi pendidikan politik).
Dukungan publik dan fungsi partai politik itu jika dikaitkan dengan penentuan capres oleh partai membawa konsekuensi terutama pada perkara akuntabilitas partai kepada publik, baik kepada publik pendukung partai tersebut (konstituen), maupun publik seluruhnya di luar pendukung partai.
Konsekuensinya adalah bahwa partai dituntut menentukan capres yang memenuhi setidaknya aspek kapabilitas, baru kemudian aspek elektabilitas dan popularitas. Aspek kapabilitas adalah bersifat conditio sine qua non (harus ada) karena akan mempertaruhkan nasib seluruh bangsa. Kualitas kehidupan bangsa akan dapat ditingkatkan manakala capres adalah figur yang berkualitas.
Ada pun aspek elektabilitas dan popularitas bersifat mendukung tetapi penting. Sehingga, partai mesti memilih capres yang kapabel yang memiliki tingkat elektabilitas dan popularitas tertinggi. Menjadi tidak berguna apabila figur yang dicalonkan memiliki kapabilitas namun kurang elektabel dan populer.
Bila terdapat seorang figur yang kapabilitasnya sangat meyakinkan tetapi rendah elektabilitasnya dan popularitasnya karena beberapa hal—misalnya, low profile dan kurang publikasi– maka partai dapat tetap memilihnya sambil berupaya meningkatkan tingkat elektabilitas dan popularitasnya.
Dari uraian di atas, menjadi pertanyaan besar jika ada partai yang mencalonkan capres hanya semata-mata karena popularitasnya. Partai semacam ini patut diduga tidak ada niat dalam menjalankan fungsi-fungsi partai politik secara keseluruhan, terutama fungsi pendidikan politik dan pencapaian visi & misi partainya sendiri.
Capres yang hanya memiliki modal popularitas bukannya tidak mungkin nanti akan terpilih sebagai Presiden definitif mengingat tingkat pendidikan seluruh rakyat rata-rata masih rendah, akses dan sarana untuk meningkatkan pengetahuan politiknya belum terjangkau dan memadai, ditambah dengan masih buruknya perilaku dan niat beberapa politikus yang hanya mengejar kepentingan sempit pribadi dan kelompoknya saja, dan canggihnya pengkonstruksian media (terlebih lagi jika sang capres menguasai media).
Partai yang memiliki popularitas tetapi kurang kapabel dan terpilih menjadi Presiden definitif akan merugikan bangsa secara keseluruhan. Rakyat sudah sangat jenuh terhadap situasi kebangsaan yang belum tertata baik seperti sekarang ini: korupsi masih merajalela, kemiskinan masih banyak, pendidikan belum merata dan berkualitas tinggi, harga diri bangsa masih sering dilecehkan dalam persepsi bangsa lain, hubungan sosial yang retak, kejahatan masih sangat banyak, hukum belum dapat dirasakan adil, dan segudang permasalahan bangsa lainnya.
Apakah partai politik akan tega mempertaruhkan nasib bangsa dengan menyerahkan kepada figur yang cuma populer tetapi tidak kapabel?
Partai politik bukanlah monopoli dari pengurusnya saja dan/atau konstituennya saja melainkan milik seluruh bangsa karena adanya partai difasilitasi dan diakomodasi oleh negara melalui regulasi, pengakuan, fasilitas, kepercayaan, dan anggaran yang diberikan kepada partai-partai.
Jadi, partai-partai dituntut menunjukkan kinerja politiknya dengan baik termasuk dalam menetapkan capres yang diusungnya dalam pemilu yang akan datang. Bisa jadi pengurus partai yang mencalonkan figur yang diragukan kapabilitasnya berkilah, bahwa sang capres itu telah memenuhi aspek kapabilitas. Bila demikian, maka partai harus dapat menunjukkan kriteria penilaiannya itu kepada publik agar publik dapat menilai apakah benar memang demikian.[Kangmas Hejis]*****

0 komentar:
Posting Komentar