Soe Hok Gie dan Perubahan Zaman
“Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.” (Gie)
kali ini tentang Gie, Soe Hok Gie, begitulah sejarah mencatatkan namanya diblantika pergerakan mahasiswa, sampai-sampai tak ada nama lagi yang dikenang oleh sejarah diantara paramuda gerakan ‘66. kala itu bukan hanya Gie yang bergerak, ada sederet nama lainnya yang juga turut berteriak atas kegelisahannya zaman orde lama. tapi Gie lah yang terus dikenang, bahkan hingga 4 dekade terakhir “romansanya” tetap menjadi menu wajib aktivis pergerakan, dari semua golongan.
tersebutlah, sikap kritis dan idealismenya yang tak wajar lahir di era-nya kala itu, pergolakan melawan tirani sebagai bagian dari episode hidup Gie yang terbilang singkat - sesuai “doa” nya yang ingin mati muda, karena “singkat” itu pulalah yang kemudian memudahkan para jurnalis merangkum sepak terjangnya dalam besalah satunya “Catatan Seorang Demonstran”.
tindak tanduk Gie tak hanya dikisahkan dalam bentuk perjuangan gerakan mahasiswa yang berfokus pada kondisi politik OrLa, akan tetapi juga memuat cerita kesusastraannya serta cintanya pada Bumi Indonesia, nasionalisme yang diejawantahkan lewat puisi dan pendakian gunung, bahkan lewat puisi dan puncak gunung pulalah cerita kematiannya tersampaikan.
sikap kritis, dan ketajaman analisis sosial-politik Gie saat itu menjadikan dirinya orang asing yang berbahaya. asing dihadapan rakyat yang bungkam karena ketakutan pada rezim, menjadi orang yang berbeda diantara mahasiswa lainnya yang terkurung dalam kemunafikan, dia kelewat jujur pada kegelisahannya, sedangkan yang lain tidak. berbahaya dihadapan pemerintah, sikap ngotot Gie untuk beroposisi membuat dirinya sendiri tak nyaman dalam keterancaman.
terbesit dalam pikiran, apa jadinya Gie jika dia masih hidup di era sekarang?, begitu mudah akses propaganda menyebar, tanpa harus direpotkan oleh mesin tik untuk sekedar menulis, atau disibukkan agenda “bawah tanah” yang sembunyi-sembunyi untuk menyusun strategi pergerakan, tempat umum sudah biasa digunakan untuk “menggunjing” kebobrokan pemerintah, atau begitu ramainya aransemen lagu-lagu pergerakan menggema. Alangkah senangnya Gie melihat bebasnya demokratisasi Indonesia saat ini. disatu sisi rasanya tak tega memperlihatkan kepada Gie bahwa sangking asyiknya negeri ini dengan kebebasan membuat segala sesuatunya serba bablas. Gie belum lihat betapa media-media tak lagi takut sama pemerintah, bahkan jadi teman baiknya untuk membodohkan rakyat lewat pencitraan, Gie tidak sempat menyaksikan manuver KPK membabat hangus para koruptor, meski begitu tetap saja koruptor menjamur Gie. Gie tak berkesempatan untuk bercengkrama dengan anggota dewan dan pemerintah tentang Sumberdaya nasional yang tak dirasakan oleh sebagian besar rakyatnya, ah, begitu banyak obrolan yang akan membuat Gie semakin gerah, bisa jadi bunuh diri.
Gie: muda, beda dan berbahaya, begitulah. lalu bagaimana dengan Paramuda zaman sekarang?. adakah mereka juga berbahaya?.
Setiap zaman memiliki ciri khasnya masing-masing, dan setiap kekhasan pasti ada pelaku yang membuat suatu zaman itu unik.
Gie adalah bagian dari aktivis gerakan mahasiswa, jelas berbeda dengan mahasiswa saat ini; Pola pikir dan Tulisannya, Idealisme dan Sikap kritisnya dibantu oleh rekan seperjuangannya sudah cukup untuk mengusik singgasana kekusaan rezim kala itu.
sejatinya kita harus belajar banyak mengenai historia pergerakan mahasiswa; sikap apatisme sebagian besar rakyat Indonesia terkadang bukan karena mereka tak kritis, karena kritis itu sendiri butuh kecerdasan; ketidakresponan terhadap kesengaaraan lingkungan sosial juga bukan karena rakyat cuek, tapi kepedulian itu butuh modal untuk memberi.
intinya jika seorang itu tidak kritis dan tidak peduli, maka kasihanilah, karena mereka itu tak cerdas dan tak kaya, alias miskin.
kembali ke ciri khas setiap zaman, tangan-tangan unik pembangun peradaban bukan hanya soal gerakan dan sikap politis, ada begitu banyak kran-kran gerakan yang bersifat non-politis, kepedulian kita pada sektor pendidikan, mambangun komunitas hobi, menjadi laboran, seniman, pustakawan, dan lain sebagainya harus dimaknai pula sebagai upaya pergerakan, selagi itu untuk membantu negara bangsa ini lebih baik.
saya yakin jikalau Gie berada di Zaman ini, dia juga akan sepakat dengan itu. bahkan kalau saja Gie ABG dizaman ini, dia juga akan disibukkan dengan PC dan Gadgetnya, tapi bukan untuk kehura-huraan.
kegelisahan seorang Gie yang tergambar dalam buku hariannya, kembali mengingatkan kepada kita bahwa hadirnya kita adalah bagian dari entitas yang dinamis, dituntut kritis dan peduli, juga bertanggungjawab atas kondisi yang terjadi.
sekali lagi, apapun potensi dan ketertarikan kita hari ini pada sesuatu, haruslah dimaknai sebagai salah satu upaya pembenahan bangsa, agenda pergerakan membutuhkan keterkaitan antar lini dan optimalisasi semua potensi. dan akhirnya, agenda pergerakan tetap akan berlanjut dan zaman akan terus melahirkan generasi-generasi yang berbeda, hingga lahir pula sebuah peradaban yang kita cita-citakan hari ini dan oleh pendahulu kita - sedari dulu.
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…” (Soe Hok Gie)

0 komentar:
Posting Komentar