harga genset murah

Memahami Ruhut Sitompul


Memahami RUHUT SITOMPUL




Ruhut Sitompul identik dengan kontroversi. Dan kontroversi itulah yang menguasai atmosfier politik Indonesia setelah tumbangnya orde baru. Karena sering menabrak arus utama pendapat umum, banyak orang menilai Ruhut sebagai mahkluk aneh bahkan sinting. Ia dengan enteng melontarkan ucapan yang tidak logis, bahkan bisa menusuk perasaan orang lain, termasuk di dalam ruang sidang DPR.


Karena sikapnya itulah, ia ditolak rekan-rekannya untuk memimpin Komisi III DPR RI, dan Ruhut pun menanggapinya dengan enteng. Saat ini ia telah dilaporkan oleh Boni Hargens, pengamat politik, dan dosen FISIP UI, karena pernyataannya bernada rasis. Namun bukan Ruhut kalau tidak menanggapi semua itu dengan enteng. Bahkan ia tidak merasa melontarkan pernyataan rasis dimaksud.


Anehnya, meski menuai kecaman dari sana sini, Ruhut tetap tidak berubah. Ia tetap saja kocak, lucu dan seakan selalu siap menohok siapa saja yang mengganggu Presiden SBY yang diidolakannya. Apakah ia politisi yang tak berbobot, tidak santun, dan membabi buta seperti penilaian sebagian kalangan ?


Jika disimak, Ruhut sejatinya cukup cerdas meniti buih politik sehingga tetap merasa aman dan menghadapi kecaman. Ia dengan cerdas berselancar buih-buih politik Indonesia yang akhir-akhir ini semakin tidak sopan, jauh dari kesantunan. Budaya politik yang mengingkari sopan-santun itulah yang terjadi di tanah air sebagai buah pendewaan kebebasan berpendapat. Ketidak sopanan yang kini cenderung dipandang sebagai cara baru dalam berpendapat kian sulit dikendalikan, apalagi jika sikap tidak semakin sopan terhadap orang lain sebagai wujud heroisme. Dan sikap membungkam suara, perilaku dan tindakan tidak sopan dianggap melanggar hak asasi manusia.


Lantas, bagaimana cara para petinggi menghadapi ketidaksopanan yang sudah dianggap sebagai bagian dari hak seseorang dalam berpendapat dan bertindak ?


Jika menoleh ke belakang, ada kisah menarik yang terjadi saat K H Abdurachman Wahid menjabat Presiden RI. Pada saatu saat ia menyatakan akan menyelesaikan kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Presiden Soeharto melalui jalur hukum. Pernyataan tersebut kemudian direspon dengan aksi unjuk rasa mahasiswa menuntut agar “Soeharto diseret ke Pengadilan.” Tapi, ketika wartawan hendak melakukan konfirmasi ulang ke Gus Dur bahwa ia akan melakukan apa yang dituntut oleh mahasiswa, dengan geram Gus Dur menyatakan menolak.


Awak media terheran-heran, karena sebelumnya Gus Dur sudah dengan tegas akan membawa persoalan mantan Presiden Soeharto ke pengadilan, tapi menolak tegas tuntutan pengunjuk rasa “menyeret Soeharto ke Pengadilan.” Apakah Gus Dur plin plan ? Ternyata tidak, Gus Dur tetap membawa kasus Soeharto ke pengadilan, tapi yang ia tolak adalah pemakaian istilah “menyeret “ Soeharto karena istilah yang dipakai oleh pengunjuk rasa itu tidak sopan.” “Pak Harto itu orang tua, kok diseret-seret. Kalau begitu namanya kurang ajar sama yang tua. Tidak boleh. Kita akan serahkan persoalan Pak Harto ke Pengadilan, agar mendapat putusan seadil-adilnya,” kata Gus Dur kala itu.


Pendapat senada juga disampaikan Wakil Presiden (saat itu) Megawati Soekarnoputri yang merasa terusik oleh aksi pengunjuk rasa yang tidak sopan. “Hujatan terhadap mantan Presiden Soeharto, mengingatkan saya pada apa yang dialami Bung Karno dulu,” kata Megawati Soekarnoputri. Mengatasi “ketidak sopanan ucapan perilaku dan perbuatan,” yang kian mewabah, tentu tidak seperti masa orde baru yakni dengan membungkam, menangkap bahkan menghilangkan pelaku tak sopan itu. Maka untuk menghadapinya Gus Dur tampak perlu menggunakan jurus Pendekar Mabok. Pagi bicara A, siang bicara B, dan sore bicara C yang kerap isinya saling bertentangan.


Ruang politik publik yang sudah penuh dengan informasi sampah berupa saling hujat, saling hina, saling memaki, yang tidak hanya dipertontonkan oleh para politisi tapi juga dari kalangan mahasiswa dan intelektual oleh Gus Dur dibuat semakin keruh. Orang-orang dibuat bingung, kalang kabut untuk menebak-nebak maksud dari sang Presiden. Sementara Gus Dur bersikap santai melihat kebingungan para pengamat atas pernyataannya yang untuk menyudahinya cukup dengan ucapan “Gitu aja kok repot.”


Sebagai presiden, sebenarnya Gus Fur dapat “menertibkan” ketidak sopanan masyarakat dengan cara represif. Ia dapat menugaskan Polisi menangkap siapa saja yang dipandang melanggar hukum termasuk segala bentuk ketidaksopanan terhadap seseorang atau suatu lembaga. Atau sebagai pemimpin ummat Gus Dur juga dapat menggunakan Pemuda Ansor NU untuk menghadapi para penghujat. Tapi ini tidak ia lakukan demi menghargai kebebasan berpendapat.



Kebiasaan hujat menghujat, menghina orang lain atau institusi negara, hingga kini masih saja dipertontonkan oleh banyak kalangan. Presiden SBY adalah sasarannya. Bahkan oleh sebagian orang Presiden SBY disamakan dengan hewan kerbau. Perilaku ini jelas menyakitkan, tapi SBY tetap membiarkannya. Meski sebenarnya dapat ia lakukan, SBY tidak menempuh cara represif seperti dilakukan Soeharto. Sebab sebenarnya kekuasaan presiden saat ini sangat terbatas, sudah dipreteli habis.


Dengan kekuasaannya sudah sangat terbatas, SBY memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada siapa pun termasuk kebebasan menista dirinya, termasuk kebebasan menganiaya orang lain. Ia biarkan jadi penat dalam kebebasannya. Dalam konteks ini, maka Ruhut Sitompul telah bermain cantik untuk sesekali mengganggu para penikmat kebebasan dengan jurus pendekar maboknya.


Dalam soal pernyataan Ruhut tentang “pengamat hitam” yang kemudian memancing perseteruannya dengan Boni Hargens, alasan yang dipakai Boni Hargens untuk melaporkan Ruhut ke polisi adalah pernyataan yang berbau rasis dan tidak adanya teguran Partai Demokrat terhadap Ruhut. Artinya, sebenarnya yang hendak disasar oleh Boni Hargens tidak hanya Ruhut, tapi juga SBY dan Partai Demokrat. Namun menurut Ruhut pernyataannya itu tercetus spontan karena Boni Hargens telah melecehkan Presiden SBY, dengan pernyataan yang tidak ilmiah. Pada hal Boni Hargen bisa tampil di depan publik karena menyandang status keilmuan yakni dosen Universitas Indonesia.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/16/memahami-ruhut-sitompul-618902.html

Memahami Ruhut Sitompul | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar