Oleh: Dr. Mudhofir Abdullah
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Mesir, A. M. Fachir, menyatakan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia yang mempraktikkan demokrasi paling berhasil. Dia menegaskan bahwa keberhasilan ini sangat dipuji oleh negara-negara Islam lain dan juga negara-negara Barat. Pernyataan ini disampaikannya dalam seminar “Kontribusi Pendidikan Tinggi Islam dalam Politik Luar Negeri dan Komunikasi Publik” yang diselenggarakan oleh IAIN Surakarta di Hotel Horison Kamis (14/11). A. M. Fachir yang akan ditugaskan menjadi Dubes Arab Saudi menambahkan keberhasilan demokrasi di Indonesia ini sulit terjadi di Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan negara-negara Arab lainnya.
Pernyataan A.M. Fachir di atas memperkuat analisis selama ini bahwa Islam Indonesia adalah unik dibandingkan Islam di dunia mana pun. Keterbukaan dan dialog atau tradisi rembug di Nusantara telah menjadi jiwa-tubuh bangsa. Unsur-unsur hibrida telah menyusun mozaik Islam yang sangat kontekstual dengan kebangsaan Indonesia.
Yang menarik dari pernyataan A. M. Fachir dalam seminar itu adalah gugatannya pada pandangan yang salah bahwa Islam adalah identik dengan Arab. Islam tak dibatasi pada ke-arab-an. Islam adalah manifestasi dari nilai-nilai universal. Argumen ini mirip dengan pandangan Adonis, pemikir sejarah kebudayaan Arab kontemporer, yang menyatakan bahwa Arab dan Islam adalah dua entitas yang tidak selamanya sebangun. Arab adalah etnisitas sedangkan Islam adalah universalitas meskipun ia lahir dari cangkang Arab. Dalam konteks Indonesia, Islam di sini adalah Islam yang telah teralkulturasi dan terenkulturasi dengan kearifan-kearifan lokal.
Menepis Teori
Menjelang pesta demokrasi pada 2014, suhu politik di Tanah Air meninggi. Partai-partai politik berlomba mencari muka dan merebut suara. Umat Islam adalah bagian terpenting dari pesta itu. Massa Islam, tentu saja, tidak terpaku pada partai-partai berbasis Islam. Mereka telah cerdas dan melek moral bahwa kebaikan dan keburukan ada di semua partai. Karena itu, massa Islam tak pernah bersatu dalam pilihan politik. Mereka berpencar dalam partai-partai politik yang ada. Fakta itu mengukuhkan bahwa demokrasi telah menjadi bagian dari pandangan hidup. Umat Islam Indonesia telah lama menerima demokrasi sebagai sistem yang “baik”.
Argumen ini menguatkan pujian negara-negara Barat dan Arab tentang demokrasi di Indonesia. Islam di sini menyajikan Islam yang moderat. Islam yang membuka diri terhadap kebaikan-kebaikan dari sistem lain, meski dari peradaban Barat. Ini menepis teori, misalnya, Bernard Lewis (2002: 2) yang menyatakan bahwa Islam tak cocok dengan demokrasi karena Islam telah sempurna dengan dirinya sendiri dan tak bisa berubah. Analisis Lewis lebih tepat ditujukan pada Islam Arab, tetapi bukan Islam Indonesia.
Saya berpendapat bahwa jiwa-tubuh nilai-nilai Nusantara selama berabad-abad telah mematri Islam yang luwes dalam arti positif. Telah terjadi domestikisasi Islam di Tanah Air sehingga Islam di sini sangat cair dengan kondisi-kondisi lokal. Kondisi ini mendasari keyakinan bahwa tak akan pernah terjadi formalisasi Islam di level negara. Kaum elit Islam telah sadar bahwa formalisasi Islam di level negara akan memecah kesatuan dan persatuan bangsa—sebagaimana dulu pernah terjadi di masa-masa formatifnya sebagai nation-state. Yang diperjuangkan adalah bagaimana nilai-nilai universal Islam dapat seluas-luasnya dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keadilan, patuh pada hukum, pemihakan pada yang lemah, menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, demokrasi, dan lain-lain adalah nilai-nilai universal Islam yang seharusnya mengikat jiwa-tubuh umat yang harus diperjuangkan di muka bumi, khususnya bumi Nusantara. Ini berarti, siapa saja atau partai apa saja yang bisa menjamin berlakunya nilai-nilai keadaban itu dapat dianggap sebagai khalifatullah fil’ardh (wakil Tuhan di muka bumi). Dari sini saya tidak sepakat dengan Huntington yang menyatakan bahwa kegagalan demokrasi di negara-negara Muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme Barat. Yang ditolak Islam adalah westernisme bukan nilai-nilai keadaban Barat. Jika demokrasi itu baik itu bukan karena Baratnya, tetapi karena ia melibatkan partisipasi massa dan menerapkan check and balance.
A.M. Fachir benar ketika menyatakan dalam seminar itu bahwa Islam Indonesia menjadi contoh unik bagi dunia dalam praktik demokrasi. Sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, Indonesia menjadi wakil Islam—meski ini sulit diterima bagi para pengamat Islam. Clifford Geertz, misalnya, menyebut Islam di Indonesia adalah lapisan tipis saja dan tak pernah masuk ke dalam kesadaran jiwanya. Tentu saja, pandangan Geertz ketinggalan zaman. Richard Bulliet (1996) mengemukakan teori baru dan mengusulkan agar kita mulai melihat Islam dari pinggiran (periferi). Meminjam kata-kata Bulliet, saatnya kita melihat Islam dari “pinggir”, seperti Indonesia, India, atau Thailand, bukan lagi dari jendela di Bagdad, Damaskus, atau Madinah. Bulliet menjuduli bukunya dengan Islam: The View from the Edge (Islam: dilihat dari pinggir). Dan Indonesia telah menampilkan Islam dengan sangat cantik bagi dunia dan menjanjikan bagi peradaban masa depan.
Peran Kaum Elit Islam
Relasi Islam dan negara di Tanah Air pernah mengalami ketegangan di masa-masa formatifnya sebagai nation-state. Agus Salim, Bung Hatta, dan tokoh-tokoh Islam lainnya lalu mencairkannya dengan pikiran-pikiran integratifnya tentang relasi Islam dan negara. Peran mereka sangat penting di dalam menjaga keutuhan NKRI sepanjang pemerintahan Orde Lama.
Di era Orde Baru, peran intelektual Muslim terus berlanjut. Tampil Nurcholish Madjid, Gus Dur, Syafii Maarif, Munawir Sadzali, Harun Nasution, dan lain-lainnya melalui karya-karya mereka tentang relasi Islam dan negara. Tafsir Islam tidak lagi dipusatkan hanya pada jangkar teologi dogmatis, tetapi bergeser ke arah sosio-epistemologis. Artinya, doktrin-doktrin Islam dikontekstualisasi dengan manfaat-manfaat sosialnya. Nalar kritis dipakai sehingga menghadirkan kesadaran kritis (critical counciousness).
Mulai disadari bahwa Islam tak akan efektif jika melulu berbicara soal-soal langit, padahal masalah-masalah manusia sangat membumi. Universalitas Islam hanya akan efektif jika diikatkan pada nilai-nilai lokal, yakni ke-Indonesia-an. Dengan keahlian akademis, mereka (kaum elit Muslim) mampu membahasakan doktrin Islam dengan idiom-idiom modern dan sangat kontekstual. Isu-isu keadilan, HAM, demokrasi, isu-isu lingkungan hidup, dan lain-lainnya disuntikkan dalam diskursus-diskursus publik baik melalui media massa maupun media elektronik. Islam telah hadir dan menyusup masuk ke dalam ruang privat melalui televisi, internet, dan media massa.
Karena itu, peran intelektual Muslim tetap diperlukan sepanjang negara Indonesia ada. Tanpa mereka, relasi Islam dan negara Indonesia akan ringkih dan bisa terjerumus pada konflik-konflik abadi. Kaum elit intelektual Islam adalah pilar-pilar penting yang akan selalu mengisikan spirit persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka sadar bahwa menjadi Muslim yang baik pertama-tama haruslah menjadi warga negara yang baik.
Selain itu, peran lembaga-lembaga pendidikan Islam juga tak dapat diabaikan. Mereka berperan dari sisi strategi kebudayaan. Umat harus dididik dalam perspektif inklusif tentang keislaman dan keindonesiaan. Lembaga pendidikan Islam harus menyajikan ajaran-ajaran Islam yang relevan dengan konteks-konteks kehidupan sosialnya. Tugas elit intelektual Islam adalah merumuskan konsep-konsep utama tentang keislaman dan keindonesiaan dengan segenap tantangan-tantangannya. Dalam perspektif argumen inilah peran elit intelektual Muslim dapat menjadi jangkar demokrasi dan integrasi bangsa di masa kini serta di masa-masa yang akan datang.
Surakarta, 18 November 2013

0 komentar:
Posting Komentar