Dimana Tuhan Kini berada? Apakah agama sudah tak mampu lagi menyampaiakan keberadaannya itu? Ketika kejahatan makin marak, ketika korupsi merajalela, dan maksiat bertebaran di muka bumi makin mewarnai berita-berita koran dan televisi?
Politik kian mahal. Butuh dana besar untuk menghidupi aktivitasnya agar mesin yang bekerja dapat menyuplai kekuasaannya kembali. Segala cara diusahakan dan seperti lupa untuk mentaati rambu rambu aturan, norma atau ajaran agama. Nama Tuhan di tanggalkan dikejauhan, cukup dibungkus dengan baju-baju dan kemampuan bersilat lidah, nama tuhan disebut di depan publik, sedang saat sendiri, nama itu benar-benar tak pernah lagi disebut. Kering kerontang religiusnya. Ketika noktah hitam keburukan telah diperbuat, satu tirai kokoh membentang menjadi pembatas antara makluk dengan Tuhannya itu.
Pelan namun pasti kehidupan kian culas. Yang terbongkar belum seberapa, yang tersembunyi dan masih mengendus-endus masih bergentayangan. Kebaikan sepertinya tinggal polesan dibibir dan cerita-cerita usang. Meski kadang perhatian kita begitu tersentak ketika bibit-bibit pejuang sejati itu masih ada. Merayap dikegelapan, jarang terdengar. Bangsa ini sedang haus akan cerita-cerita heroik untuk menimbun berita-berta aib pejabat. Cerita yang tak pernah direkayasa atau berharap tersiar. Sebuah keberanian yang menggugah dan menggugah mata, bahkan menguras air mata haru akan bukti nyata jika di atas bumi ini, masih tersisa orang-orang yang miskin ego, berkecukupan keinginan yang tersembunyi, dan rela menjadi martil bagi sebuah perjuangan.
Berita buruk dan aib dari orang-orang yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab moral, menipiskan integritas berkebangsaan. Orang-orang yang rela kenyang dan berkelimpahan di atas keterpurukan moralitas bangsa. Rasa malu dan berdosa hilang tertiup kebiasaan buruk. Muka-muka kehilangan dinding nuraninya. Penjara, hanya bagian kecil dari kekalahannya, bukan terminal akhir bagi sebuah keadilan yang ditegakkan. Sisa Pundi-pundi harta dari hasil menjarah masih mugkin dinikmati dan dibagikan kepada anak cucu ketika penjara telah membuka pintunya. Dimana rasa malu dan kehilangan kehormatannya? Apakah tak terdetik suatu saat namanya terbaca oleh generasinya suatu saat nanti? Tercatat dalam lembaran kelam pelaku kejahatan berkerah putih dinegeri ini?
Warisan apa lagi yang masih bisa kita berikan kepada generasi yang akan datang, saat kebangaan menjadi negarawan yang berbudi pekerti luhur, yang kaya teladan kini tak pernah hinggap di hati para pesohor negeri ini? Semua seperti terlupakan, lebih elegan mengurus paratai dimana ia dibesarakan, dimana kemewahan itu diberikan? Kebiakan-kebaikan hanya sebatas hembusan wewangian yang cepat menguap. Hanya menyentuh sejenak, setelah meraup banyak restu dari mereka yang dininabobokan, perangai asli itu kembali menjadi muka asli.
Ah, sepertinya kita berbangsa namun terbelah dalam konflik kepentingan yang tak berkesudahan. Watak negerawan sejati lupa dipersiapkan, yang lahir adalah orang-orang yang ahli berorasi, orang-orang yang bermuka manis.namun lagi-lagi, badut-badut lebih banyak yang beraksi. Darah nasionalisme jangan hanya bergejolak saat kumandang lagu kebangsaan bersama bendera yang dikibarkan saja, namu lebih dari itu. Watak negarawan harus tersemat dalam laku yang berdedikasi dan berkomitmen. Bahwa tak ada yang lebih penting dari kepentingan rakyat banyak, bukan partai juga bukan keluarga besarnya.

0 komentar:
Posting Komentar