***
Menjelang akhir tahun, izinkan penulis memberikan bentuk apresiasi dan kesan selama beberapa bulan bergabung di Kompasiana. Tulisan ini sebagai catatan ringan dari seorang newbie yang cukup terkesan dengan media ini.
Kompasiana adalah media yang mengakomodasi kebutuhan informasi segala lapisan masyarakat Indonesia. Cukup beragam mulai dari yang sifatnya berita terkini, keilmuan, atau yang sifatnya rekreatif seperti kanal Fiksiana. Sifat dan fungsi yang interaktif membuat dinamika antar penulis begitu intensif menyumbangkan beragam gagasan dan ide lewat komentar-komentar, mulai dari komentar yang sifatnya sekadar memberikan support, apresiasi, sanggahan, kritikan, bahkan menjadi tuduhan yang provokatif. Elaborasi yang positif sesungguhnya akan menghasilkan sudut pandang baru yang pastinya juga positif dalam rangka mengembangkan suatu definisi atau konsep yang memang akan terus menerus menemukan berbagai bentuknya. Sebaliknya, menutup kemungkinan-kemungkinan lain yang potensial dan hanya menjurus perdebatan kusir.
Sekarang ini memang eranya dunia maya. Terdapat banyak bentuk perubahan-perubahan sosial yang menjadikan internet lewat produk-produknya mengakomodasi berbagai paham yang berkembang di masyarakat. Kampanye politik 2014 dipastikan tak lagi menggelar panggung hiburan di lapangan, tapi menabuh ‘perang’ di media-media sosial. Tak terkecuali Kompasiana. Namun kali ini saya menyoroti tentang hubungan negara dan agama dalam kehidupan berbangsa. Masih ada sebagian suara-suara yang menghendaki impian akan ditegakkannya suatu sistem negara berdasarkan agama tertentu. Dalam hal ini Islam sebagai mayoritas. Dalam tataran isu tertentu, perdebatan yang alot masih dianggap pada tahap kewajaran, kecuali menawarkan Islam sebagai bentuk negara, dasar negara.
Bukan hal yang baru, sebagaimana dahulu impian tak terwujud Kartosuwiryo dan rekan-rekan yang hendak mendirikan NII. Kompasiana (K) menurut penglihatan saya yang sepintas, memiliki warga-warga yang cukup kritis dalam wacana ini. ‘Ditolaknya’ ide Islam sebagai dasar dan sistem negara oleh sebagian besar Kompasianers, sepertinya, menurut opini saya bukan hanya dikarenakan fakta-fakta dan berita besar politik terkait kasus hukum yang melibatkan elit-elit dari parpol berbendera Islam saja, melainkan sesungguhnya kesadaran berbangsa dan bernegara Kompasianers yang masih begitu megah. Memberi harapan napas nasionalisme yang sekarang terlihat apatis dan lelah. K ini, sebagaimana Indonesia adalah sekuler. Islam ‘yes’ Partai Islam ‘no’.
Sebuah kata yang telah diberi label, mungkin negatif oleh golongan tertentu. Kata memang bisa diberikan ‘sifat’ tertentu berdasar jejak peristiwa sejarahnya. Sekuler dalam pengertian disini merupakan pemisahan antara agama dan negara. Antara ranah pribadi dan publik. Bukan napasnya. Karena napas agama menjadi poin pertama dari dasar dan falsafah negara kita. Tapi bukan agama tertentu. Negara memang diberikan wewenang legal yang sifatnya memaksa dengan aparatur-aparatur dan regulasi. Jika agama yang sesungguhnya hak pribadi setiap insan, dijadikan lebur dengan negara yang menjalankan segala aktivitas-aktivitas rakyatnya dengan sandaran kredo dan pertimbangan agama tertentu meski kita sebagai manusia telah memiliki ‘standar moral yang baik’ secara universal, maka potensial bahwa iman yang dihasilkan lebih berupa iman-iman palsu.
Perdebatan tentang sistem pemerintahan, dasar negara, pada dasarnya telah selesai di sekitar 1945. Para pendiri bangsa, dengan bijaksananya telah membuat konsensus. Dari sidang BPUPKI sampai akhir sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang dari 15 menit telaah terjadi kesepakatan politik dari pihak-pihak non muslim, nasionalis, dan aliran kepercayaan (ajaran kebatinan) dengan pihak keagamaan beragama Islam atas polemik Piagam Jakarta untuk menghapus tujuh kata. Maka Republik ini lahir. Menjadi negara sekuler bukan berarti anti agama. Di sekitar tahun-tahun merdeka, ranah politik dengan perang ideologi begitu dominan. Ketika kemerdekaan itu datang, masing-masing kelompok dengan ideologi bawaannya masing-masing seolah merasa paling berhak dijadikan pedoman hidup bernegara. Marxis, sosialis, liberalis, Islam, nasionalis berseliweran dimana-mana. Untungnya, elit-elit politik dahulu memiliki kebijaksanaan dan tantangan psikis yang tidak terlalu besar dibanding tantangan fisiknya. Secara visi, umumnya mereka memiliki rasa sepenanggungan yang sama. Gejolak besar ingin merdeka, bagaimanapun kuatnya ideologi masing-masing yang dibawa. Maka menawarkan agama, dalam hal ini Islam sebetulnya hanya akan mereduksi nilai-nilai agama itu sendiri, menjadi ‘sekasta’, sama sejajar dengan ideologi ‘buatan manusia’.
Seorang H. Agus Salim ‘The Grand Old Man’, cendikiawan hebat yang pernah lahir di negeri ini, memiliki jiwa nasionalisme yang sangat besar meski terlahir, besar, dan wafat dalam latar belakang agama yang kuat. Keimanan ini kemudian terjewantahkan dalam akhlak dan karakter sikap yang kuat di kehidupannya. Banyak cerita menarik dari sikap beliau misalnya menolak beasiswa dari Belanda karena diketahui merupakan buah lobi dari Kartini bukan pengakuan atas prestasinya sendiri, berani hidup sederhana jika tidak dikatakan miskin untuk ukuran tokoh dan pejabat pada masanya, otaknya yang cemerlang digunakan semata-mata hanya untuk perjuangan Indonesia, dan lain-lain. ‘Fardhu’ tidak hanya diartikan sebagai kewajiban, namun merupakan jatah, waktu, untuk kita manusia. Sebuah kebutuhan. Pencapaian sufis. Jika sampai dekade orde baru ada suara-suara untuk membentuk gerakan Islam menjadi gerakan politik bawah tanah yang nyata yang ingin mengubah dasar negara serta sistem kenegaraan kita dan ideologi ‘buatan manusia’ yang selama ini telah dianggap gagal, maka seharusnya ada ‘kesempatan kedua’ kita rombak pada periode reformasi. Namun nyatanya ‘kan tidak.
Ketika Soeharto jatuh, periode itu adalah masa dimana kata ‘reformasi’ begitu seksi. Berapi-api, dramatis. Sejarah seperti hanya bentuk pengulangan yang sistematis. Tumbang satu, lalu saling berebut simpati. Sepertinya ada yang salah dengan sistem di negeri ini. Begitu menggebunya kita merevisi UU, amandemen beberapa kali. Tapi ‘kontroversi’ Piagam jakarta, yang sempat dimunculkan sebentar, hanya sekadar wacana di kolom-kolom media saja, atau diperbincangan jeda anak-anak mahasiswa yang baru melek politik yang sedang mencari eksistensi di kampus. Peristiwa penting setelah ’45, ’65, ’98 tidak lantas melakukan upaya redefinisi akan dasar negara. Lagi-lagi sekuler telah final. Namun, semakin kekecewaan itu besar, rasa rindu juga akan semakin besar. Pihak-pihak yang masih berhasrat menegakkan Syari’ah Islam dalam negara, semakin menancapkan ide-idenya secara masif di era ini. Sejauh tidak mengganggu kepentingan umum dan publik, ide-ide ini adalah keniscayaan demokrasi hasil reformasi. Namun jika mobilisasi massa telah merusak fisik, penyerangan fisik, bahkan subversif maka negara wajib hadir. Yang menjadi ranah pribadi hendaknya tidak mengganggu ranah publik.
Yang menjadi musuh besar kita bukan lagi unsur-unsur di zaman proklamasi, tapi KORUPSI yang mau tak mau harus diakui telah menjadi budaya. Permasalahan membuat KTP saja korupsi bisa hadir, apalagi bernegara, APBN, mark up proyek dan lain-lain. Bahkan Al-Qur’an saja harus di korupsikan. Penciptaan kelas-kelas sosial dapat dimengerti secara alami, karena hasil dari perjuangan individu masing-masing. Namun terdengar tidak adil jika perbedaan kelas itu tercipta karena budaya korupsi, yang dengan sangat menyedihkan dilakukan oleh aparatur-aparatur serta pihak-pihak paling terhormat dalam tirani birokrat. Maka untuk konteks ini agama menjadi unsur paling penting agar bisa menahan laju ideologi korupsi ini, yang kita mulai terbiasa dengar dari berita-berita televisi atas laku tirani birokrasi bahkan partai-partai yang berslogan paling ‘Bersih’. Karena tidak ada agama apapun yang mengajarkan kita korupsi ‘toh. Tapi apakah agama harus ‘hadir’ lalu permasalahan dunia secara umum yang kompleks ini begitu saja teratasi secara instan?
Monotheisme ‘material’ telah menempatkan bahkan sedikit ‘memaksakan’ atas ‘hadirnya’ ‘Tuhan’ atas segala solusi hidup secara pragmatis. Kita beribadah, lalu berdo’a, apakah semua do’a-do’a yang kita minta itu sifatnya instan? Lahirnya ajaran sabar dan tawakal sebetulnya memberikan kita kesadaran seperti itu. Ada sebuah janji yang memiliki ketidakpastian waktu. Upaya-upaya kebaikan yang tiada habis dan terus menerus berkembang. Adapun peranan bahasa cukup besar dalam beragama. Monotheis mengakui Tuhan itu ‘satu’, tapi memiliki nama berbeda-beda. Kata ‘Tuhan’ sebagai ‘penanda’ dari suatu dzat yang kita akui sering terjebak dalam kemunafikan sosial sehari-hari. Kita menyebutkan ‘Tuhan’ di berbagai agenda, acara, diskusi, bahkan dalam ritual ibadah belum tentu ‘hadir’ dalam kesadaran beriman kita. Menukil dari Al Ghazali dalam al-Maqsad al-Asna, dari sudut pandang ‘material’ ini sebetulnya kita tahu juga para Atheis telah salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala. Dalam sebuah perjalanan rasa bermanusia yang terlahir di lingkungan manusia lainnya, kita telah memiliki moral-moral standar tertentu. Manusia bisa bermoral terlepas dari ajaran kepercayaan tertentu karena otak kita secara alami memiliki kemampuan untuk bermoral.
Neuron cermin (Mirror neuron) di otak memungkinkan kita mampu merasakan apa yang orang lain rasakan, termasuk penderitaan yang mereka alami, empati. Sirkuit Altruisme di otak mendorong individu untuk melakukan tindakan-tindakan altruistik, tindakan yang secara umum dianggap baik, dan menghindari tindakan-tindakan kekerasan yang merugikan sesama dan merusak kehidupan sosial masyarakat. Altruisme dibagi menjadi dua; loyalitas, dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu. Ini membuktikan bahwa kita bisa bermoral tanpa batasan ideologi apapun. Namun tentu saja ini merupakan moral standar sebagai bagian dari kekayaan moral-moral spiritual yang bersumber dari latar belakang keimanan masing-masing.
Terakhir, jika masih terdapat pemikiran-pemikiran yang bergerilya dalam berbagai artikel mengenai pembentukan sistem negara Islam di Indonesia oleh kompasianers tertentu, maka bersiap-siap saja menghadapi respon lugas kompasianers lainnya sebagai bentuk kontra ideologi. Anggap saja kritik balik ini lebih merupakan bentuk perhatian. Bukankah kita kadang suka dengan perhatian?:)
Salam Indonesia Raya.

0 komentar:
Posting Komentar