harga genset murah

Soe Hok Gie, Prabowo Subianto, Ada Apa?


13871966852068155871


Sumber Gambar: 1.bp.blogspot


http://www.shnews.co/detile-22879-prabowo-subianto-dan-catatan-soe-hok-gie.html


Tadinya ingin mengulas sosok Soe Hok Gie saja untuk mengenang 44 tahun wafatnya pemikir ini, tetapi ketika melintas dari beberapa artikel di internet bertemulah dengan tautan cerita mengenai hubungan Soe Hok Gie dengan Prabowo Subianto, akhirnya saya putuskan mengulas keduanya berbarengan dalam artikel yang sama.


Cerita soal Prabowo remaja dalam buku Catatan Seorang Demonstran yang merupakan kumpulan tulisan aktivis mahasiswa Soe Hok Gie, nama Prabowo muncul pada 1969. Soe Hok Gie menyebut nama panggilannya “Bowo”. Soe Hok Gie dan Prabowo beberapa kali kerap keluyuran bareng. “Dari pagi keluyuran dengan Prabowo ke rumah Atika, ngobrol dengan Rachma, dan membuat persiapan-persiapan untuk pendakian Gunung Ciremai,” tulis Gie pada Kamis 29 Mei 1969.


Mereka juga mengurus organisasi yang bernama Pioneer Korps. Soe Hok Gie sering menyebutnya sebagai pionir korpsnya Prabowo. Hal ini seperti mengindikasikan bahwa organisasi itu diprakarsai oleh Prabowo. Soe juga tampak cukup akrab dengan ayahnya Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo.


Dalam tulisannya, Soe Hok Gie menggambarkan Prabowo sebagai kanak-kanak yang cerdas dan cepat tanggap, namun juga masih naif. “Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas tapi naïf. Kalau ia berdiam 2-3 tahun dalam dunia nyata, ia akan berubah.” (catatan Soe Hoek Gie 25 Mei 1969).


Cerita soal Lembaga Pembangunan juga sempat disebut dalam catatan Soe Hok Gie. “Jumlah desa-desa di Indonesia beribu-ribu dan jumlah mahasiswa yang bisa dikerahkan paling hanya beberapa ribu” katanya.


Wartawan senior Aristides Katoppo membenarkan bahwa “Prabowo” yang dimaksud Soe Hok Gie adalah Prabowo Subianto. “Mereka memang berteman” kata Soe Hok Gie. Wartawan Senior Sinar Harapan Daud Sinjal bahkan mengatakan sepatu yang digunakan almarhum Soe Hok Gie saat wafat di Gunung Semeru adalah sepatu pinjaman dari Prabowo Subianto. “Karena mereka dekat, jadi ada cerita sepatu So Hok Gie naik gunung yang dipinjamnya dari Prabowo” kata Daud.


Soe Hok Gie merupakan sosok yang sangat visioner, gerakan dan pemikirannya cukup banyak menjadi inspirasi kalangan muda yang selalu melakukan perjuangan demi kebaikan Bangsa dan Negara Indonesia, dan pantas diteladani. Seorang sosok cerdas dan berani yang sangat vokal mengkritik kebijakan Presiden Soekarno pada masanya.


pemikirannya melalui kalimat-kalimat yang dibuatnya hidup di kalangan aktivis mahasiswa saat itu dan sampai dengan saat ini, beberapa kutipan kalimat-kalimat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:


“Bagiku sendiri, politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”


“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, kedua dilahirkan lalu mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Mengutip seorang filsuf Yunani”


kritik yang keras kerap dilontarkan oleh Soe Hok Gie kepada Soekarno pada saat itu adalah terkait kehidupan istana yang mewah sebaliknya kehidupan Rakyat yang susah.


Bahkan Gie juga mengaku tak suka dengan situasi di Istana Presiden. Dia muak melihat sikap pembantu–pembantu presiden,-seperti pengawal pribadi dan menteri-menteri-, yang sering menjilat atasan. Ada juga gaya berpakaian sekretaris Presiden Sukarno yang dia anggap terlalu ketat dan seksi. “Sekretaris pribadinya yang berkebaya ketat dengan buah dada yang menggiurkan. terus terang saja aku melirik padanya, padahal dalam hal ini aku biasanya acuh tak acuh. Memang dia cantik, tetapi aku dapat membayangkan betapa kotornya hidup perkelaminan di sini (Istana Presiden)” kata Gie yang sudah tiga kali bertemu Presiden Sukarno di Istana Negara.


Pernah suatu ketika Senat Fakultas Sastra UI menerima surat dari Menteri Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Prijono. Senat diminta mengirimkan 20 orang mahasiswi untuk nonton wayang kulit di Istana semalam penuh. Bagi Soe Hok Gie, cara meminta itu sangat menyinggung perasaan mahasiswa, karena seolah-olah Fakultas sastra adalah pemasok wanita untuk konsumsi istana. Apalagi tidak seorangpun mahasiswa diundang. Herman Lantang, kawan karib seangkatan Soe Hok Gie sangat tersinggung dengan cara ini. Herman dan Gie layak tersinggung, karena biasanya terkait urusan gerakan mahasiswa mereka selalu diundang Bung Karno.


“Setiap aku keluar dari istana, aku sedih dan kecewa. Sedangkan biasanya orang lain bangga jika bisa berjabatan tangan dengan Bung Karno” kata Gie.


Menarik sekali memang membahas sosok ini, terlepas banyaknya pro dan kontra setidaknya kita tetap harus menghargai semangat yang diusung oleh pemuda-pemuda pada masa itu dalam mengawal kekuasaan agar tetap pada jalurnya.


Dan kembali dengan Prabowo Subianto saya menjadi sedikit tercerahkan, mengapa Prabowo Subianto dalam kampanye politiknya sering menggunakan kalimat kurang lebih seperti berikut:


Kalau bukan kita, siapa lagi?


Kalau bukan sekarang, kapan lagi?


“Karena kalau diam, bangsa Indonesia akan selalu ditindas oleh bangsa lain. Karena jika kita tidak mau terlibat di politik, jika kita tidak aktif mengajak teman, saudara, kerabat kita untuk peduli, artinya kita membiarkan negara kita hancur”.


Mencoba mencermati kalimat-kalimat kampanye Gerindra dan Prabowo Subianto diatas, saya pikir semangat yang diusung bisa jadi terinspirasi dari kalimat Soe Hok Gie, yang mengatakan politik itu kotor namun bila tidak bisa menghindar terjunlah kedalamnya.


Dunia ini ternyata saling terkait tanpa disadari.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/16/soe-hok-gie-prabowo-subianto-ada-apa-619001.html

Soe Hok Gie, Prabowo Subianto, Ada Apa? | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar