Poster Desain Alit Ambara. Poster yang menggambarkan kegelisahan dan ketidaknyaman akibat poster/iklan politik yang memenuhi ruang kota.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menerbitkan aturan nomer 15 Tahun 2013. Aturan tersebut mengatur : (1) baliho ataupapa iklan (billboard) hanya diperuntukkan bagi Partai Politik 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya yang memuat tanda informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan atau visi/misi, program, jargon, fot pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD; (2) Calon Anggota DPD dapat memasang baliho atau papan reklame atau billboard 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya. (3) bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh Partai Politik dan calon anggota DPD pada zona atau wilayah yang ditetapkan KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama pemerintah daerah; (4) Spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 meter hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona wilayah yang ditetapkan KPU, KPU Propinsi dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama pemerintah daerah.
Namun, apakah peraturan ini dipatuhi di lapangan? Rasanya tidak! Para caleg ini sebagian besar berusaha meraih simpati publik, justru dengan poster dan spanduk yang besar-besar sehingga memenuhi ruang kota, menambah sesak jalur pandangan mata kita.
Mengapa demikian? Sebagian besar dari para caleg, terutama yang merupakan pendatang baru, sepertinya masih beranggapan, bahwa semakin besar memajang foto mereka, semakin besar simpati yang bakalan diraih. Tapi apa lacur, alih-alih memperoleh simpati publik, para caleg ini justru seringkali mendapat sindiran keras, dan tak ada simpati seperti yang diharapkannya. Baliho-baliho besar mereka justru tampak heboh dan kadang mengerikan, kadang numpang tenar dengan tokoh atau founding father yang sudah terkenal sebelumnya. Bak aji mumpung, mumpung ada yang terkenal, siapa tahu ikut terkenal.
Caleg yang mengandalkan sosialisai visi dan misinya hanya lewat iklan kampanye, realitas sosialnya, cenderung mati gaya di hadapan para pemilihnya (Sumbo Tinarbuko, KR 28 Nov 2013). Mereka menjadi mati gaya, karena sadar bahwa iklan politiknya dipenuhi janji surga, sekedar gincu politik.
Caleg, mestinya mampu menjawab tantangan permasalahan krusial dengan memberikan jawaban yang nyata dan menyentuh. Dan hal ini tidak bisa dilakukan dengan iklan kampanye seperti baliho atau poster-poster supergede tersebut. Mestinya, kampanye dialogis akan lebih bermakna karena terjadi komunikasi dua arah, terjadi saling tatap muka antara pemilih dan calon yang hendak dipilih.
Kepungan sampah visual ini harus diurai. Pemerintah yang memiliki kekuasaan politik harus tegas untuk mengendalikan sampah visual ini, karena merusak dan mengganggu keindahan kota. Sudah saatnya berhenti berpikir tentang pemasukan pajak melulu, tapi mengorbankan keindahan kota dengan iklan-iklan politik yang menyesakkan dan (sering) menyesatkan.
Ada satu wilayah di Kota Yogyakarta yang dengan tegas menolak iklan politik yang berupa baliho atau poster-poster ini. Di daerah Pengok, masyarakat disini jelas-jelas menuliskan keengganannya terhadap iklan politik yang hendak masuk. Mereka memasang poster besar : “Kawasan bebas iklan/baliho/kampanye politik!”
Ada yang berminat menirunya…?

0 komentar:
Posting Komentar