Ketika media cetak sedang ramai membicarakan kasus monitor, saya menemui Gus Dur di kantornya. Dengan suara datar ia mengkritik umat Islam yang mengecam Arswendo.
“Saya baru saja mengirimkan tulisan buat EDITOR. Buat saya Arswendo memang gila, ia melakukan kesembronoan. Tetapi umat Islam juga gila, karena memprotes kasus ini dengan kasar. Jadi gila kasus ketemu sama kasus gila,” ujar Gus Dur sambil tertawa.
Gila, saya pikir, Gus Dur gila. Orang gila membahas kasus gila dan gila kasus. Beberapa jam sebelumnya, saya dengan bangga membicarakan kasus ini sebagai ekspresi kekuatan politik Islam. Demonstrasi-demonstrasi itu adalah penegasan identitas Islam (halusnya: unjuk gigi).
“Bukankah dengan begitu umat Islam dapat menakut-nakuti musuhnya!,” saya menegaskan.
“Tetapi citra Islam sebagai agama pembawa rahmat, agama kebebasan, agama perdamaian menjadi rusak,” jawab Gus Dur dengan suara datar.
Ketika banyak orang yang kecewa dengan Gus Dur, saya tidak. Kecuali pada hari itu. Saya meninggalkan kantor PBNU dengan sejumlah pertanyaan. Tidak ada yang lebih menyakitkan kecuali dikecewakan oleh orang yang kita cintai.
Lama setelah itu, ketika protes terhadap Arswendo mereda, saya melihat kembali tulisannya. Ia benar. Islam adalah agama rahmat, kebebasan, perdamaian dan perbaikkan. Sebagai pembela Islam, kita wajib menampilkan Islam dalam citra itu.
Anehnya segera saya membaca istighfar, terbayang lagi adegan demonstrasi yang saya saksikan. Massa yang dengan khusuk menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi tercinta. Anak kecil yang pingsan tetapi mulutnya tetap meneriakkan nama Nabi Muhammad. Ustad yang terisak-isak menangis ketika mendengar nama Nabi yang mulia diletakkan di bawah Arswendo.
Sayup-sayup dalam kenangan, saya mendengar Husain Fadhlullah, pemimpin Hizbullah Libanon: Bila kaum muslim tidak mendapatkan rasa aman -karena dihina, ditindas, dipojokkan- maka tidak boleh seorang pun memperoleh rasa aman di dunia ini.
Perlahan-lahan wajah Gus Dur muncul lagi. Tampaknya ada dua wajah Islam. Pertama, wajah ramah, pemaaf dan pemelihara. Kedua, wajah yang keras, tegas, dan penyerang. Karena baik Gus Dur maupun Fadhlullah ulama, saya ingin memilih keduanya. Masalahnya bukan yang mana, tetapi bilamana. (disadur dari artikel “Dua Wajah Islam”, Jalaludin Rahmat).
Dua Wajah Islam
Melalui artikel di atas, Kang Jalal hendak menjabarkan dua wajah yang dimiliki Islam dan kaum muslimin. Kedua wajah tersebut dengan apiknya dideskrisipkan melalui tokoh Gus Dur dan Husain Fadhlullah.
Melalui Gus Dur, Kang Jalal hendak menjabarkan wajah Islam yang penuh rahmat, pemaaf, pemurah, sekaligus pembawa perdamaian. Sebaliknya, melalui Husain Fadhlullah, Kang Jalal hendak menampilkan wajah Islam yang bisa keras dan tegas.
Sejatinya, prinsip dasar dalam Islam adalah rahmat. Kata “Islam” sendiri bermakna kedamaian. Karenanya, di dalam Alquran, Nabi diutus sebagai penebar rahmat bagi seluruh alam. Tetapi di sisi lainnya, kedamaian dan kerahmatan Islam tidak mengurangi ketegasannya. Sehingga dalam Alquran anda juga menemukan ayat-ayat yang bernada “perang”.
Bagaimana membedakannya? Dengan apik Kang Jalal membahasakan “bilamana”. Iya, waktu yang menjadi kuncinya. Jika kita membaca ayat-ayat “perang” dan membawanya ke dalam konteks damai, maka kita telah menyalah “bilamana”. Sebaliknya, bila wajah rahmat, pemaaf, damai Islam kita bawa pada saat konteks “perang”, maka kita pun telah salah memaknai “bilamana”.
Jadi, kuncinya adalah “bilamana”.
Gitu aja koq repot!
Salam pentungan.

0 komentar:
Posting Komentar