Sudah beberapa waktu saya tidak menulis di Kompasiana. Sebenarnya saya sudah hendak menulis lagi seminggu yang lalu ketika membaca satu artikel di Harian KOMPAS. Namun karena beberapa hal, saya menundanya. Hari ini, setelah membaca satu artikel lagi, saya harus menyempatkan diri untuk menulis karena ada artikel-artikel yang membuat saya gemas.
Pantai Klayar
Sebagai orang yang gemar jalan-jalan, maka artikel KOMPAS tentang tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi tidak pernah saya lewatkan. Salah satu artikel mengenai tempat wisata yang menarik disajikan minggu lalu, pada hari Selasa, 10 Desember 2013, halaman 22, yang berjudul “Pesona Nusantara – Pantai Klayar, Taman Bumi Nan Eksotik” yang ditulis oleh Sdr. Runik Sri Astuti.
Artikel Selasa, 10 Desember 2013, halaman 22
Pada kolom ke-2 mulai dari baris ke-4 tertulis: Kerap pandangan mata pengemudi tak bebas karena tanjakan yang dilalui hampir mencapai sudut 90 derajat. Pada gambar, kalimat tersebut saya garis bawahi dengan warna kuning. Kalimat ini membuat saya mengerutkan dahi. Kalimat tersebut memunculkan beberapa pertanyaan. Adakah tanjakan di Pacitan yang hampir mencapai sudut 90 derajat? Adakah jenis mobil yang mampu melewati tanjakan yang bersudut hampir 90 derajat? Beberapa tahun lalu saya pernah mengunjungi Pacitan dan saya melihat tidak ada satupun jalan yang bersudut 90 derajat. Kalau jalan terjal di Pacitan memang banyak. Namun tidak ada jalan dengan sudut seperti yang dimaksud penulis. Kendaraan biasa, paling hanya mampu melewati tanjakan bersudut 30 derajat. Kendaraan jenis 4-wheel drive paling-paling hanya mampu melewati tanjakan bersudut 45 derajat, sedikit di atas sudut itu perlu alat bantu. Akan tetapi 4-wheel drive jelas tidak mungkin dapat melintasi tanjakan bersudut hampir 90 derajat. Selain itu tidak logis melintasi tanjakan bersudut hampir 90 derajat dengan kendaraan.
Maka saya simpulkan, ada kemungkinan yang dimaksud penulis bukanlah tanjakan, melainkan tikungan. Atau bisa juga penulis sengaja menggunakan kalimat hiperbolik untuk menarik perhatian pembaca agar berkunjung ke Pantai Klayar, Pacitan. Kemungkinan yang lain adalah kata “tanjakan” itu terluput dari perhatian penyunting naskah atau editor KOMPAS.
Paus Fransiskus
Artikel berikutnya dimuat pada hari Jumat, 13 Desember 2013, pada halaman 10 dengan judul: “Tokoh Tahun Ini – Fransiskus, Paus Revolusioner” yang ditulis oleh Sdr. Trias Kuncahyono. Pada kolom ke-2, mulai baris ke-4 tertulis: Fransiskus Asisi (disebut demikian karena dari Asisi, Italia bagian utara) adalah seorang imam anak saudagar kain yang kaya raya.
Artikel Jumat, 13 Desember 2013, halaman 10
Pada gambar, kalimat yang mengundang rasa gemas, saya garis bawahi dengan warna kuning. Fransiskus Asisi bukan seorang imam. Santo Fransiskus Asisi adalah seorang biarawan pendiri Ordo Saudara Hina-Dina (OFM, Ordo Fratrum Minorum), namun tidak pernah ditahbiskan menjadi imam. Tidak semua biarawan adalah imam atau pastor. Demikian pula tidak semua imam/pastor adalah biarawan. Memang baik biarawan maupun imam/pastor sama-sama menghayati tiga kaul (kemiskinan, kemurnian, ketaatan), namun keduanya memiliki peran yang berbeda dalam Gereja Katolik. Tidak semua biarawan boleh mempersembahkan Ekaristi, hanya biarawan yang ditahbiskan menjadi imam/pastor sesuai dengan aturan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik (KHK 262 §2) yang boleh mempersembahkannya. Tetapi sebaliknya semua imam, baik imam biarawan maupun imam bukan biarawan (atau biasa dikenal sebagai imam diosesan/imam praja), boleh mempersembahkan Ekaristi sesuai dengan peran, tugas dan fungsinya dalam Gereja Katolik (KHK 273 – 289).
Jadi saya bermaksud meluruskan, bahwa Santo Fransiskus Asisi – yang namanya dipakai oleh Paus Fransiskus – adalah bukan seorang imam, melainkan biarawan. Santo Fransiskus lain yang ditahbiskan sebagai imam adalah Fransiskus Xaverius (Jesuit, ), Fransiskus Borgia (Jesuit, superior jenderal Serikat Yesus 1565-1572), Fransiskus de Sales (uskup, pelindung para wartawan), dan masih ada beberapa lagi orang kudus/santo yang menggunakan nama Fransiskus.
Tribhuwana Tunggadewi
Artikel berikutnya yang membuat saya gemas dimuat hari ini, Senin, 16 Desember 2013, pada halaman 24, berjudul “Kesejahteraan Daerah – Prospektifnya Kerajinan Patung Trowulan” ditulis oleh Sdr. Dody Wisnu Pribadi. Pada kolom ke-6, baris ke-12 dari bawah tertulis: Abad yang canggih karena telah ada rintisan dimulainya Wawasan Nusantara ketika para negarawan Majapahit, termasuk ibu suri kerajaan, Gayatri Rajapadni, serta Mahapatih Gajah Mada di masa keemasan di bawah Prabu Hayam Wuruk disusul Ratu Tribhuwana Tunggadewi, mengupayakan persatuan Nusantara.
Artikel Senin, 16 Desember 2013, halaman 24
Pada gambar, kalimat yang mengundang pertanyaan saya beri garis bawah warna kuning. Memang benar masa keemasan Majapahit berada di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Akan tetapi setelah Hayam Wuruk mangkat, penerusnya bukan Tribhuwana Tunggadewi, melainkan Kusumawardhani (anak Hayam Wuruk dengan Padukasori) yang bersuamikan Wikramawardhana. Sedangkan Tribhuwana Tunggadewi justru adalah ibu Hayam Wuruk. Bagaimana mungkin Tribhuwana menjadi raja Majapahit setelah Hayam Wuruk mangkat pada tahun 1389? Apakah Tribhuwana Tunggadewi yang mangkat tahun 1350 bangkit kembali dari kematian?
Secara kronologis yang benar, Gayatri yang menjadi istri Raden Wijaya menurunkan Tribhuwana Tunggadewi (atau Tribhuwana Wijayatunggadewi). Kemudian Tribhuwana Tunggadewi yang menikah dengan Kertawardhana menurunkan Hayam Wuruk. Jadi ada urutan kronologis yang kacau pada alinea dalam artikel tersebut.
Sebenarnya masih ada lagi kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam artikel Harian KOMPAS. Akan tetapi ketiga contoh di atas rasanya sudah cukup untuk menumpahkan rasa gemas. Saya mengerti, tugas para penyunting naskah di Harian KOMPAS itu berat karena mereka dituntut untuk menyajikan artikel yang benar dan bernas. Tugas ini menjadi semakin berat terlebih KOMPAS selalu menjadi barometer keakuratan berita di Indonesia. Semoga para penyunting naskah tetap menjalankan profesi mereka dengan baik.

0 komentar:
Posting Komentar