“Bagaimana berwudhu dengan air kencing?,” tanya nenek suatu ketika kepada saya. Maklum, saya adalah seorang santri meskipun dari kampung. Saya yakin nenek tidak sedang menanyakan hukumnya. Sebab, saya tahu ia telah mengetahui hukumnya. Bukankah nenek sering mengunjungi pengajian-pengajian sekitar.
Dugaan saya benar. Nenek hendak menasihati cucu saya melalui analogi berbentuk pertanyaan di atas. Sebaik apapun maksud seseorang hendaknya jangan diselipi oleh hal-hal yang keji nan kotor, berbau dengki dan fitnah. Bilamana itu terjadi, niscaya niat dan maksud baik kita tercoreng jelaga hitam. Semuanya percuma.
Entah mengapa ketika membaca artikel Kompasianer Agung Soni yang membantah komentar Mboten Wonten (MW), saya teringat dengan ucapan nenek. Saya mengapresiasi Kang Agung. Setidaknya Kang Agung lebih baik ketimbang Kompasianer lain yang hanya melakukan protes, namun tanpa argumen. Apalagi hingga ada acara potong leher segala, Kang Agung jelas lebih baik dari mereka.
Sebagai muslim yang menapak usia dewasa, saya bangga kenal dengan Kang Agung. Pada sosok Kang Agung saya menemukan citra muslim yang mengedepankan rasional ketimbang emosional. Membantah dengan argumen, bukan dengan pedang. Hal-hal seperti ini yang perlu untuk kita lestarikan ketimbang melestarikan tradisi amuk.
Namun sayang, seribu sayang. Pada paragraf terakhir ada setetes “air kencing” yang turut membasuh “wudhunya” Kang Agus. Ia menyelipkan kata “Syiah” di sana dan mengaitkannya dengan situs muslimhope.com. Sehingga memberi kesan bahwa Syiah berada di balik situs keji tersebut. Lebih jauhnya, Syiah lah yang menjadi sumber inspirasi kotor bagi Mboten Wonten.
Sebagai sosok yang saya yakini sebagai seorang santri religius nan taat beragama, saya menyesalkan adanya selipan kata itu. Saya yang hanya seorang santri kampung dengan profil wajah “setan” menyeringai tidak perlu mengajari Kang Agung agar cek-ricek terlebih dahulu. Apakah benar situs muslimhope.com dikelola oleh para muslim Syiah?
Saya berlatar NU, namun mempunyai banyak rekan dari seluruh madzhab termasuk Syiah dan Wahabi, namun tidak pernah saya dengar mereka melontarkan tuduhan keji nan kotor terhadap pribadi Nabi Muhammad Saww. Terlebih bagi muslim Syiah, kehormatan Nabi dan keluarganya adalah harga mati. Walhasil, tidak ada satu pun muslim yang berikhtilaf mengenai status pernikahan Nabi dengan Mariyyah.
Kalaupun ada perbedaan pendapat bukan di seputar status pernikahan Nabi dan Mariyyah, melainkan apakah Nabi menikahi Mariyyah pada saat berbeda agama atau tidak. Bukan sesuatu yang perlu diperlebar, mengingat Alquran sendiri tidak pernah melarang lelaki muslim menikahi wanita non muslim. Yang pasti, Mariyyah wafat dalam keadaan muslimah di Madinah.
Jadi, saya bertanya-tanya, apa kaitan Syiah dengan hal-hal keji yang dilontarkan oleh MW di atas? Atau benar adigium bahwa Syiah selama ini kerap menjadi “kambing hitam”? Ketika negara-negara Arab kalah perang melawan Israel, maka “kambing hitam” bernama Syiah lah yang diajukan untuk disembelih. Ketika negara-negara muslim dilanda kegamangan dan kemerosotan moral, maka -sekali lagi Syiah lah yang harus bertanggungjawab.
Saya tidak sedang membela Syiah, melainkan membuka wawasan bahwa selama ini isu-isu Sunni-Syiah adalah kartu truf bagi sebagian orang yang bermaksud memecah belah kekuatan, persatuan dan kesatuan muslim. Tak perlu saya panjang-lebar menjabarkannya, ada banyak artikel saya yang menjelaskan propaganda murahan isu-isu Sunni-Syiah.
“A’la kulli hal”, saya mengapresiasi langkah Kang Agung yang memilih membantah MW melalui artikel yang sarat argumen, ketimbang mengeluarkan sumpah serapah nir argumen. Sayangnya, Kang Agung justru berwudhu dengan -maaf- “air kencing”.
Gitu aja koq repot!
Salam pentungan.
Penulis adalah seorang santri kampung Nun jauh di pelosok Kota Bandung.

0 komentar:
Posting Komentar