harga genset murah

Aceh Seolah Ada, Seolah Tidak



ACEH SEOLAH ADA, SEOLAH TIDAK



Elemen masyarakat kembali turun memenuhi jalan-jalan utama di beberapa kabupaten/kota yang di Aceh dalam beberapa minggu ini. Seakan-akan mereka semua bersepakat dalam suatu kesimpulan kesepakatan atau kebersamaan untuk menggugat atas kenyataan jalannya pemerintahan di Aceh yang sang na sang tan (seolah ada, seolah tidak). Tema yang menjadi konsolidasi keprihatinan itu mungkin bisa bermacam cabang, mulai dari penolakan Qanun Wali Nanggroe, Qanun Bendera dan Lambang Aceh, sampai tingkat pembangunan yang belum memenuhi harapan khalayak. Namun semua itu agaknya akan bermuara pada ketidak kepercayaan akan kemampuan untuk tetap mempertahankan harapan bagi perjalanan pemerintahan Aceh yang sekarang sedang berjalan sampai babak akhirnya nanti.


Suka ataupun tidak, aksi-aksi demontratif (tergerakkan atau menggerakkan) itu semua merupakan rangkaian yang menyebutnya sebagai sebuah strukturisasi untuk membuat delegitimasi pemerintahan Aceh hasil Pilkada tahun lalu itu. Upaya ini sebenarnya menemukan kulminasi nadir yang belum menunjukkan perubahan tertentu untuk memberikan sedikit optimis yang dapat lebih menenteramkan rakyat akan masa depan Nanggroe dalam hari-hari kesejahteraan yang diharapkan. Jangankan ‘meminang’ realisasi janji-janji politik yang telah terkampanyekan masa Pilkada dulu, berbagai agenda tak berhaluan populis pun masih tergagap-gagap diketengahkan. Seakan turut menambah akumulasi kemarahan masyarakat atas berbagai sikap politik yang kadang melewati goresan kesantunan demokrasi itu.


Delegitimasi adalah berbagai tindakan untuk meniadakan atau menjatuhkan kepemimpinan sah atas dasar-dasar haluan kekuasaan/kekuatan yang semestinya. Upaya delegitimasi terhadap kepemimpinan pemerintahan Aceh saat ini, sungguh berlangsung secara sporadis dan massif tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Walau mungkin para “penasehat meuligoe” mencoba menenteramkan dengan rajah-rajah petuahnya, namun kerisauan mestilah tetap menjadi bagian kesadaran sanubari yang menggugah kemauan. Tentu gerakan delegitimasi ini menjadi episode yang tidak diharapkan, terutama sekali oleh Pemerintah Aceh yang telah diberi amanah kemudi ini sampai akhir kesempatan yang dimandatkan.


Kalaulah kemudian jangkauan delegitimasi ini telah mempengaruhi pikiran banyak orang dan seterusnya menjadi kesadaran yang berlanjut ke ranah politik akar rumput, tentu kegaduhan akan muncul kepermukaan. Sebagai warga Nanggroe, kita tentu juga mencemaskannya, sebab yang diperlukan bagi Aceh hari-hari ke depan adalah wajah Aceh yang sejahtera bukan dalam bingkai yang didendangkan. Karena lagu politik yang hendak kita dengarkan adalah sebuah “mars keadilan dan kesejahteraan” yang tidak membinasakan. Di sinilah ketegasan dan kesadaran perlu menjadi nalar pikiran. Bukan berarti yang membela tidak ada tantangan dan bahkan mungkin mau sampai menjadikan tumbal persembahan, tetapi kearifan pemerintahan lebih diharapkan dari sekadar pertentangan yang tidak mendewasakan kita dalam mengetengahkan kepemimpinan di etalase politik lokal.


Pemerintah Aceh sekarang tentu mereka sadar apa yang sekarang terjadi di hadapannya. Tetapi kesadaran ini kayaknya belum menunjukkan reaksi yang sepadan dalam jawaban berupa tindakan operasional. Kesadaran akan begitu banyaknya pihak yang tidak menginginkan Pemerintah Aceh hasil pilihan rakyat itu untuk tetap eksis menjadi salah satu kewaspadaan daerah yang patut di antisipasi sedini mungkin. Karena dalam politik yang perlu kita bahwa tidak mungkin semua orang dapat terpuaskan dalam satu tahapan kepemimpinan yang terlegitimasi. Banyak pihak di luar dengan berbagai latar kepentingannya membangun tema-tema atas nama kerakyatan untuk menjungkir-balikkan pihak yang lainnya yang tidak sesuai dengan jalan kemauannya. Para pihak yang kalah dalam petarungan perebutan kepentingan, tidak mendapat akses politik, kesempatan ekonomi yang tidak menguntungkannya, peran sosial yang tidak didapatkan lagi, sampai kenyamanan yang sebelumnya mudah diperoleh, telah menjadi sebab dan motif untuk membuat dramatisasi keadaaan yang semakin gaduh. Di sinilah panggung kearifan dan kebijaksaan kepemimpinan perlu ditampilkan kehadapan khalayak. Sebab dalam kesadaran adalah bagaimana cara kita menampilkan bahasa operasional di hadapan rakyat yang bukan saja sekumpulan cerita.


Pemerintah Aceh perlu mengetengahkan bahasa keadilan dan kesejahteraan dalam operasional terlebih dahulu sebelum menyampaikan narasi tentang berbagai simbol dan strukturisasi lainnya yang hendak diperjuangkan. Kalau bahasa keadilan dan kesejahteraan ini telah mewarnai dalam operasional gerak pemerintahan sekarang, maka dengan sendirinya yang telah berkerumun untuk bersepakat mengadakan delegitimasi itu, secara perlahan akan berpamitan satu sama lainnya. Karena tema kesepakatan itu telah terurai dengan cermat dan menyentuh para pihak tertentu yang hadir dari berbagai latar kepentingan itu. Tetapi selama bahasa keadilan dan kesejahteraan ini masih sebatas spanduk dan berita iklan di koran, maka selama itu pula kemudi pemerintahan selalu akan mendapat gangguan.



Banda Aceh, 12 Desember 2013


RAHMATSYAH




sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/12/aceh-seolah-ada-seolah-tidak-618550.html

Aceh Seolah Ada, Seolah Tidak | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar