BAGAIMANA kabar RW, yang diduga korban tindakan asusila yang dilakukan SS? Kemarin (12/12), RW menjalani pemeriksaan di Mapolda Metri Jaya. Pengacaranya Iwan Pangka mengatakan bahwa RW tidak sudi dinikahi pelaku (SS). Iwan juga menuntut SS meminta maaf kepada keluarga korban, kepada kampus, dan kepada dunia seni yang sudah tercoreng akibat perilaku SS. Jelas saja. Bagi kalangan yang melek kasus ini, citra sastrawan bisa saja kotor sekotor-kotornya karena dianggap merayu seorang gadis dari kata-kata manis dan putikal sebagaimana seseorang membuat puisi.
foto: liputan6
Sedikit kilas balik, tapi Sitok Srengenge adalah sastrawan dari Komunitas Salihara, yang dilaporkan pihak RW pada 29 November 2013 atas tuduhan melakukan intimidasi dan asusila terhadap RW. Kasus ini sempat jadi polemik dan perang opini baik melalui komentar di share link twitter maupun socmed FB, maupun artikel blogger termasuk di Kompasiana.
Secara terang ada dua masyarakat yang bisa dikelompokkan dalam menilai kasus ini. Satu kelompok yang memandang antipatif terhadap korban, dan kedua kelompok yang simpatif terhadap korban.
Salah satu yang terlihat dan boleh dikatakan miris adalah ketika perempuan menilai perempuan korban pemerkosaan. Dari kubu antipatif, mereka biasanya menganggap remeh, memandang serba curiga, memosisikan korban pemerkosaan di posisi tertuduh. Sehingga si pelaku/pemerkosa/pelaku asusila, malah tak mendapat respons. Mengindikasi bahwa perempuan penilai ini malah membela pelaku.
Bukan berati jika lelaki yang menilai hal yang sama dibenarkan. Tapi perempuan yang konon punya hati welas asih dari keterlihatannya punya jiwa merasakan penderitaan korban yang sama-sama perempuan. Apakah yang terjadi dengan semua ini? Apakah tipe perempuan seperti ini datang dari kalangan apatis, tak peduli, atau datang dari kalangan penggemar gosip sehingga men-generalisasi sebuah kasus? Ketika sang korban pemerkosaan dianggap suka sama suka, atau kala sang korban dikomentari dengan selentingan yang cukup menyakitkan.
Berikut contohnya. Facebooker Sult**n Ani yang merupakan perempuan, berkomentar di fanpage liputan6 yang memposting artikel berjudul “Hamil 7 Bulan, RW Tak Sudi Dinikahi Sastrawan Sitok Srengenge”. Sult**n Ani berkomentar begini, “Kalo korban perkosaan pasti ada bekas-bekas luka karena korban melawan. Tapi kalau tetap mulus dasarnya ya suka sama suka” Komentar ini di-like satu orang. Dilihat-lihat akun facebooker ini datang dari ibu-ibu rumah tangga -lewat PP-nya.
Kita lanjut ke pengkomentar yang lebih muda. Adalah Anastasia Jay***i. Dia berkata, “Pasti ada janji yang gak dipenuhi, atau terlalu banyak permintaan. Kalau ngaku diperkosa itu setelah kejadian, itu namanya rekayasa.”
Ada juga komentar lebih kejan dari akun Ari Ya**. Dia berkata “Hadeeeh, 7 bulan lalu kemana neng? Masih keenakan hari gini baru nuntut? Pas udah selesai jatah, makanya deh langsung nuntut!”
*
Begitu berat jika kita memosisikan diri di pihak korban. Tapi mereka yang berkomentar pedas, seakan-akan tahu jalan ceritanya. Seakan-akan tahu keseharian SS dan RW. Komentar mereka lahir dari dugaan demi dugaan yang memberi kesan kalau mereka tidak punya rasa empati. Mereka juga tipe orang yang tak pilih-pilih kasus untuk dikomentari. Kasus asusila dan perkosaan terhadap perempuan bukankah harus mendapatkan respons yang jernih? Agar setidaknya kita bisa lebih manusiawi?
*

0 komentar:
Posting Komentar