Ini cerita semalam, dari seorang teman semasa SD yang menceritakan sedetail mungkin permasalahan yang menurutnya ga perlu ada. Sebut saja namanya Adi.
Lamaran. Calon tunanganya ini masuk kategori keluarga kaya dan mewah. Ani. Hubungan sudah terjalin cukup lama dan sebenarnya sudah saling kenal antar keluarga, artian Adi sering bermain ke rumah Ani dan begitu sebaliknya.
Saya kenal keduanya, dari dunia maya sampai nyata. Kemudian saya simpulkan keduanya cukup serasi karena bisa mengisi satu sama lain. Tak terlalu mengekang, tapi berkomitmen tinggi. Sehingga saya fikir hanya tinggal menunggu waktu mereka akan disatukan dalam ikatan pernikahan.
Di hari pertunangan yang spesial dan menjadi awal tanda bahwa hubungan serius baru saja dimulai, ternyata menyisakan kesan kurang nyaman bagi keluarga Adi. Ada beberapa pertanyaan dari pihak keluarga Ani yang membuat mereka tersinggung.
Kerja apa?
Pertanyaan ini ditujukan pada Adi, Ibu dan Ayahnya. Pertanyaan semacam ini sebenarnya tak ada yang salah. Tapi bagi sebagian orang memang terkesan ingin melihat ‘level’ keluarga bersangkutan.
Berhubung Adi dari desa dan Ani dari kota, maka ada gap cukup jauh terkait etika, kebiasaan dan lain sebagainya.
“Masa yang ditanya kerja apa?” Kata Ayahnya Adi dengan ekpresi heran dan mengernyitkan alis tanda ga suka.
“Mungkin mereka ingin mengenal calon keluarga barunya”
“Ah mana bisa kayak gitu”Saya kemudian menenangkan beliau agar tidak salah faham. Pertanyaan semacam itu lumrah bagi mereka orang ‘kota’. Saya berprasangka baik kalau mereka tidak berniat melecehkan. Hanya karena ketulusan hati memang ingin tau, mungkin mengenal lebih dari yang orang lain tau.
Saya sering mengalami hal serupa, pengalaman kurang menyenangkan jika dinilai dari sudut pandang etika yang berlaku di pedesaan. Saling menghormati, santun, dan tentu sedikit sensitif.
1. Baru beberapa detik sampai di rumah teman perempuan, pertanyaan pertama dari ibunya adalah “ke sini naik apa?” Dan dengan santainya saya jawab “ojek”. Setelah itu ibunya masuk dan ga keluar lagi. Bahkan ketika saya mau pamitan pun beliau tetep sibuk katanya.
Masa iya pertama kali yang ditanyain naik apa? Harusnya ya silahkan masuk, ngobrol bentar basa-basi. Oh nggak, ini kota. Dan saya memilih ga tersinggung serta berprasangka baik.
2. Pernah pas mau keluar dari KBRI Kuala Lumpur, ditanya “mobilnya diparkir di mana?”
“Ah ga punya mas, saya naik kereta” dan beliau tau stasiun kereta cukup jauh dengan KBRI. Sekitar 1.5 km.
“Trus dari sini naik taksi?”
“Jalan kaki aja, sekalian nikmati pemandangan”
Kalian tau? Padahal bisa saja dia yang nanya itu nawarin tumpangan untuk sampai ke stasiun, karena jalanya juga searah. Tapi apa? Ga ditawarin sama sekali. Haha tapi saya ga tersinggung, mungkin bagi dia sikap seperti itu biasa dan ga ada yang salah.Dari 2 contoh tersebut, sebenarnya memang biasa saja. Saya bisa saja pamitan ke ibu temen saya tersebut dengan mendatanginya, tapi karena takut ganggu, saya cukup bilang “salam ke ibu, aku balik dulu”. Dan temanku tersebur keluar “ibu lagi masak, iya kapan-kapan main lagi katanya”.
Untuk contoh nomer 2, saya bisa saja mengajukan diri dengan bilang “boleh numpang ga sampe stasiun?” Tapi saya memilih untuk ga menanyakanya karena tentu akan tambah sakit hati kalau dia menolak dengan alasan yang ga masuk akal. Hehe
Menikah itu memang membangun keluarga baru, antara kamu dan dia. Tapi di balik itu, ada 2 keluarga besar yang pasti akan saling silaturrahmi dalam banyak kesempatan. Miskin kaya memang ga sama, beda jauh. Tapi kita bisa menikah dengan siapa saja. Permasalahanya adalah jika calon istriku adalah keluarga orang kaya dan saya adalah keluarga ngepas. -Hehe ga tega mau bilang miskin- tentu keduanya harus saling menyesuaikan.
Orang kaya itu temanya pasti lebih banyak yang kaya, sementara orang miskin, jarang bergaul dengan orang kaya. Jika keduanya bisa saling memaklumi, ga ada masalah. Tapi bagaimana jika keduanya sama-sama menggunakan ‘aturanya’ sendiri, atau setidaknya salah satunya beranggapan dari sudut pandangnya sendiri? Untuk merancang acara resepsi pernikahan saja mungkin harus debat berhari-hari.Si kaya akan berfikir ‘ga papa lah saya ikhlas mendanai ini, supaya lebih bagus acaranya’, sementara si miskin akan ngerasa ‘ga enak hati’, atau mungkin perasaan ekstrem ‘ah sombong banget mentang-mentang duitnya banyak’.
Momen lamaran memang adalah waktu dimana kita harus sangat siap dengan segala macam pertanyaan. Mungkin akan menyakitkan sekali jika kita tidak santai dalam bersikap dan menjawab.
Kamu kerja apa? Gajinya sebulan berapa? Nanti mau tinggal di mana? Ngontrak apa udah punya rumah sendiri? Apa tinggal di rumah orang tuamu?
Kalau saya bisa menjawab dengan ‘gagah’ bahwa saya punya 2 perusahaan, omset 3 M pertahun, rumah di surabaya, jakarta, singapur dan malaysia masing-masing 1, tentu saya ga akan sakit hati dengan pertanyaan semacam itu. Tapi gimana kalo sebaliknya? Mari berfikir menurut akal masing-masing. Hehe
Walau bagaimanapun, permasalahan selalu ada, kita cuma perlu menjawabnya dengan santai dan damai. Jika itu tentang diri sendiri, kita pasti lebih tau cara mengendalikanya. Tapi bagaimana kalau ini juga menyangkut perasaan keluarga besar kita? Yang merasa dilecehkan. Kemudian tersebar ke seluruh orang satu kampung. Apa saya masih bisa mengontrol emosi setiap ketemu dan ngobrol dengan orang, pertanyaan selalu tentang itu?
Mungkin kita memang butuh mental portable yang siap dipasang kapan saja dibutuhkan.
Orang lain (selain ayah, ibu dan saudara kandung) memang selalu lebih suka membahas masalahmu berbanding pencapaianmu.Mereka lebih tertarik dengan hutangmu berapa? Ke siapa aja? Nguping sana-sini tentang bisnismu yang merugi sehingga harus jual mobil. Atau tentang penagih kredit yang berdebat beberapa kali karena kamu ga punya cukup uang waktu itu, sementara sudah jatuh tempo. Percayalah, orang lebih tertarik dengan semua itu.
Mereka akan diam di rumah sambil manyun ketika kamu dapat proyek nilai triliunan dan bos-bos mancanegara datang ke desa untuk melihat lapangan. Di mana orang-orang waktu itu terjadi? Mereka pura-pura sibuk dengan kerjaanya dan seolah ga punya waktu untuk membicarakanya. Jangankan ngegosip tentang keberhasilanmu, melihat saja mungkin mereka sangat sakit hati.
Kalau kita beruntung, akan mendapati mereka sedang ngegosipin, menjelek-jelekkan dan ga sadar kamu sedang di belakangnya mendengar dengan jelas semua perkataanya. Dan tentu itu momen yang sangat pas untuk skak mat membungkam mereka.
“Heh kamu hutangnya 5 juta ya, ketika dollar masih 5,000/1USD” tangan di pinggang, atau dengan santai terserah kamu.
“Kamu juga hutang emas 80 gram”
“Eh rumahmu siapa yang bantu ngebangun? Habis 11 juta ketika bbm masih 1,500″
Dan kalau dia yang kamu marahi malah lebih galak “ga ikhlas ha?”
Ya kamu jawab aja lebih lantang “iya ga ikhlas, balikin, trus kasur, tv yang saya beliin keluarin”Kamu tentu bisa memenangkan pertikaian ini, tapi sebenernya kamu kalah oleh emosimu sendiri, sehingga setelah itu mungkin kamu akan kesepian tanpa ocehan mereka. Ga ada lagi yang negosipin, yang menjelek-jelekkanmu. Hal-hal menyakitkan tapi ternyata mampu membuatmu semangat untuk lebih baik dari sebelumnya.
Kita harus tetap baik setiap harinya, meski orang lain tidak baik. Dan kalau ada yang membenci, itu adalah kado dari Tuhan, hadiah karena kamu sudah berbuat baik. Haters adalah sekelompok orang yang memberimu banyak inspirasi, memaksamu melakukan out of the box, yang ga biasa.
Saya menuliskan ini ketika mental, emosi dan iman sedang menanjak. Sebagai nasehat buat diri sendiri, mungkin juga bermanfaat buatmu yang sedang membaca.
Kita benar-benar menang, ketika kita beneran bisa membuat orang bertekuk lutut, tapi kita memilih tidak melakukanya karena masih bisa mengontrol diri.

0 komentar:
Posting Komentar