harga genset murah

Pembangunan dan Mentalitas Bangsa


SEORANG teman bertanya kepada Saya beberapa waktu lalu: Kenapa gedung-gedung penting seperti Gedung Sate atau apa pun yang dibangun di jaman Kolonial masih kokoh sampai sekarang dan bisa dinikmati oleh sekian generasi? Mari bandingkan dengan bangunan, jembatan, jalan, atau apa pun yang dibangun di era tahun 1990-an hingga sekarang! Umur dan ketahanan sebuah bangunan jika dikatakan kokoh pun akan bertahan hingga hanya lima tahun sampai delapan tahun saja. Beberapa jembatan seperti di Kutai Kartanegara setahun lalu roboh tiada ampun, apalagi jalan-jalan dan gang, kekuatannya tidak sampai satu semester pun.



Ada sebagian jawaban dengan nada karikatural; bangunan-bangunan yang dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda tampak lebih kokoh dan kuat dikarenakan entah berapa ribu tumbal nyawa yang menjadi korban dalam pembangunan tersebut. Untuk membuat Jalur Anyer Panarukan saja ribuan nyawa melayang karena harus bekerja secara paksa (rodi) tanpa diberi upah memadai. Dalam dunia mistis dan klenik tentu saja alasan karikatural seperti ini bisa diterima. Tapi, sekarang ini, kita hidup di jaman beradab dan peradaban, segala sesuatu tentu harus dijawab secara procedural dan berdasarkan fakta serta teori yang ada.



Dari hal di atas, beberapa teman entah mereka berprofesi sebagai kontraktor atau para aktivis pemberdayaan masyarakat sering mengatakan; sudah menjadi rahasia umum, anggaran untuk pembangunan infra struktur tidak sepenuhnya digunakan untuk membangun sarana dan prasarana. Ketika anggaran diserap oleh masyarakat pun, dikelola sepenuhnya oleh masyarakat dan difasilitasi oleh para fasilitator pemberdayaan tetap saja, anggaran tidak sepenuhnya digunakan untuk pembangunan. Apalagi jika pembangunan infra struktur telah dijadikan proyek yang dilelangkan, anggaran yang digunakan sepenuhnya untuk pembangunan semakin tercecer, digunakan hingga 60% sudah bisa dikatakan baik. Dengan fakta ini pun sudah terjawab, kekuatan hasil pembangunan fisik telah hilang sekian persen dari rencana.



Insinyur-insinyur dan orang-orang teknis di jaman colonial, tentu saja dengan ukuran peralatan dan ilmu arsitektur yang masih sederhana namun mampu membangun infra struktur-infra struktur kokoh dan bisa dinikmati hingga sekarang karena sikap dan mental para insinyur tersebut begitu kuat. Sikap ini bukan hanya terjadi di masa colonial saja, untuk negara-negara Eropa, Jepang, Australia, dan Amerika Utara seorang insinyur atau kontraktor akan benar-benar memaksimalkan pembangunan, karena merujuk pada reputasi serta nama baik mereka. jika seorang insinyur atau kontraktor membangun sebuah jembatan kemudin telah ambruk dalam hitungan bulan maka reputasi dan nama baik mereka akan hancur sehancur-hancurnya. Dalam lelang proyek ke depan, dia akan merasa malu untuk ikut lelang lagi dan pemerintah pun tidak akan meliriknya kembali.



Maka sangat wajar, pembangunan apa pun di wilayah-wilayah Eropa dan Amerika Utara akan terlihat lebih kokoh dan kuat daripada apa pun pembangunan yang dilakukan di negara ini sejak tahun 1990 hingga sekarang. Akan tidak berimbang jika kita membandingkan mentalitas paradigma pembangunan negara-negara maju dengan arah, kebijakan, paradigma, dan teknis pembangunan di negara ini demi melihat fakta-fakta yang ada. Untuk ukuran negara-negara di dunia ke-tiga (Asia-Afrika- Amerika Latin) kecuali Jepang, Korea, dan China , mungkin hasil pembangunan di negara ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika dan beberapa negara Asia Selatan. Akan tetap, pembandingan ini sangat tidak relevan jika kita melihat fakta dan realita yang ada, bahwa sumber daya alam (SDA) negara ini sungguh sangat berlimpah dan berkelebihan jika dibangdingkan dengan negara-negara di dunia ini, dengan negara maju pun kekayaan sumber daya alam negara ini lebih melimpah dari mereka.



Persoalan pembangunan tentu bukan persoalan banding- membandingkan, bukan hanya dipengaruhi juga oleh seberapa besar sumber daya alam yang dimiliki oleh sebuah negara. Namun, fakta tentang berkelimpahannya sumberdaya alam ini harus menjadi pemicu jika pembangunan di negara ini akan lebih baik dari negara-negara yang minim dengan sumberdaya alam. Hal ini begitu dipengaruhi oleh mentalitas pemerintah dan warga negaranya. Pada tahun 2000 awal, Saya mengunjungi wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong dan Tebedu. Proses dan hasil pembangunan begitu kontras terlihat. Wilayah Entikong (Kalimantan Barat) seperti kurang mendapat perhatian penuh dari pemerintah, pinggir-pinggir jalan yang memasuki hutan ditumbuhi semak belukar. Tata Ruang Wilayah pasar, ruang publik, dan sungai-sungai tidak jauh berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia ini menampilkan kekumuhan.



Saya begitu terkejut ketika memasuki wilayah Tebedu (Malaysia Timur), perbedaan begitu kontras, bukit-bukit karang tampak indah, jalan-jalan diaspal dengan sangat baik dan kuat, rambu-rambu lalu lintas pun dipasang meskipun jalan-jalan tersebut melintasi hutan, tata ruang pemukiman penduduk dan ruang-ruang publik sesuai dengan standar operasional pembangunan, setiap rumah dan bangunan diberi ruas /ruang kosong hingga 1.5 meter.



Di wilayah Kuching dan Bintulu, sepanjang Jalan Sebauh Pandang ruang-ruang publik dibuat di depan pertokoan, halaman-halaman pertokoan yang luas diisi dengan kursi-kursi memanjang dan meja-meja, setiap pagi dan sore para lansia duduk-duduk di sana sambil membaca Koran dan menikmati berbagai minuman, harga satu Mug Kopi Susu RM 1,- di tahun tersebut. Sungai besar tidak dibiarkan bantarannya, ditembok dan ditalud, transportasi air berupa boat-boat ditempatkan pada dermaga-dermaga kecil di pinggir sungai besar, untuk menyebrangkan kendaraan dari tepi sungai sebelah kiri ke tepi sebelah kana atau sebaliknya pemerintah menyediakan tongkang besar pengangkut kendaraan. Demi alasan itu, Malaysia tentu bisa dikatakan lebih maju satu langkah dari Indonesia dalam hal perencaaan pembangunan dan tata ruang wilayahnya.



Dari sinilah segalanya bermula, pembangunan apa pun sebenarnya ditentukan oleh mentalitas pemerintah dan warga negaranya, bukan ditentukan oleh paradigm, arah, dan kebijakan pembangunan tersebut. Sejarah pun telah mencatat, di era kolonialisme, ketika pemerintah Kolonial Belanda sedang gencar-gencaranya melakukan pembangunan sarana dan prasarana di Kabupaten Lebak, menurut penuturan Multatuli, begitu jahatnya Bupati Lebak menindas warga pribumi atas nama pembangunan, lebih kejam dari sikap pemerintah colonial Belanda sendiri. Bupati Lebak bersama keluarganya menikmati masa-masa suram yang dialami oleh sebagian besar penduduk lebak waktu itu. Jika sejarah merupakan rangkaian pengulangan dari persitiwa-peristiwa masa lalu, maka kondisi di negara ini memang akan terus sama seperti di era kolonialisme.



KANG WARSA



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/11/pembangunan-dan-mentalitas-bangsa-618287.html

Pembangunan dan Mentalitas Bangsa | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar