Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.
Merasa diperlukan tidak adil, kaum perempuan melakukan suatu gerakan dan mengingkan persamaan hak dan kesempatan dalam segala bidang. Kaum wanita menuntut kesetaraan atau persamaan gender antara pria dan wanita. Persamaan gender pada mulanya berasal dari gerakan Negara Barat, yang dahulunya kaum wanita disana merasa dikerdikan, menjadi warga kelas dua, sehingga menimbulkan akumulasi kekecewaan dan kemudian timbullah apa yang dinamakan perjuangan persamaan derajat atau emansipasi wanita.
Emansipasi wanita bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan. Emansipasi wanita bertujuan memberi wanita kesempatan bekerja, belajar, dan berkarya seperti halnya para pria.
Di Indonesia, emansipasi wanita berkemabang pesat setelah kiprah Raden Ajeng kartini, dan RA kartini kemudian dinobatkan menjadi pelopor gerakan emansipasi wanita di indonesia. Dan perjuangan RA Kartini tidaklah sia sia, kiprah wanita Indonesia saat ini sudah berada di segala bidang. Wanita Indonesia bisa berkarir di dunia politik, hukum, ekonomi dan pendidikan. Namun tidak bisa dipungkiri juga masih banyak juga wanita Indonesia diperlakukan hanya sebagai objek, istilahnya wanita itu hanya ada di kasur (melayani syahwat suami), dapur (memasak), dan sumur (mencuci).
Penulis pernah berbincang dengan salah satu teman yang sukses sebagai wanita karir dan aktiv sebagai sosialita. Kehidupannya serba bebas karena pengaruh budaya barat. Ia merasa beruntung hidup di era modern ini dimana hak antara laki laki dan perempuan sudah hampir setara. Apa yang dikerjakan laki laki juga bisa dilakukan oleh wanita. Cuma satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh wanita, yaitu poliandri, begitu katanya. Dalam perkawinan, laki laki diperbolihkan mempunyai banyak istri sedangkan wanita hanya diperbolehkan punya satu suami. Ini suatu ketidak adilan, begitu katanya menambahkan. Segera saja penulis sanggah perkataanya. Bukankah memang wajar kalau wanita itu hanya diperbolehkan mempunyai satu suami dalam satu perkawinan, seandainya mempunyai beberapa suami bagaimana mengetahui dari bibit mana benih yang dikandung? Begitu tanya penulis. Kan bisa tes DNA, setiap kita melahirkan tes saja DNA. Kita cocokan dengan DNA suami suami kita, begitu pungkasnya.
Kesetaraan gender dan emansipasi wanita terkadang disalah artikan sendiri oleh wanita. Secara logika apa yang dikatakan oleh teman penulis itu mungkin benar. Kalau laki laki bisa mempunyai beberapa istri, kenapa tidak kalau wanita mempunyai beberapa suami. Kalau hukum dan aturan tidak memperbolihkan, kita perjuangkan dan ubah hukum dan aturan agar memperbolihkan. Di beberapa negara, perkawinan antara sesama jenis sudah diperbolehkan, yang mana dulu tidak diperbolehkan.
Entahlah apa yang merecoki pikiran temanku itu, sehingga kesetaraan gender dan emansipasi wanita diartikan seluas luasnya tampa ada batasan batasan. Mungkin ia lupa, bahwa kita hidup berada dalam norma norma budaya dan hukum agama. Hukum agama sudah sangat jelas melarang adanya praktik poliandri. Bisa jadi logika yang dikemukakan oleh teman penulis itu benar dan masuk akal, namun itu sangat jelas bertentangan dengan norma norma agama dan keimanan. Sekarang tergantung kita, apakah kita lebih mengedepankan logika atau keimanan.
Gambar: penarevolusi.wordpress.com

0 komentar:
Posting Komentar