harga genset murah

Prostitusi vs Korupsi


Menarik dicermati setiap awal pekan bulan Desember. Tanggal 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Internasional. Sedangkan tanggal 9 Desember dirayakan sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Mengapa harus dipilih awal pekan bulan terakhir setiap tahunnya? Mungkin maksudnya sebelum menjelang tahun yang baru, kita semua patut merenung bagaimana dampak pengaruh problematik HIV/AIDS dan korupsi sejagat raya.



Belum lepas dari ingatan di dunia kompasiana masih berseliweran opini mengenai polemik kondom. Gara-gara Pekan Kondom Nasional. Juga apresiasi positif mayoritas kompasianer mengenai tangis derai tawa sandiwara seorang koruptor yang bernama Angelina Sondakh baru-baru ini. Itu berarti secara langsung atau tidak problematika HIV/AIDS dan korupsi mendapat perhatian yang cukup serius.



Nah, lantas apa hubungannya dengan prostitusi? Prostitusi seringkali dikritik sebagai sumber malapetaka penyebab penyebaran HIV/AIDS. Padahal sebenarnya tidaklah demikian.



Prostitusi dan korupsi bukan perbuatan mulia. Sama-sama tidak bermartabat. Dan tentu saja tidak baik (kalau tidak bisa dibilang buruk). Saya yakin banyak yang setuju. Tapi tunggu dulu, tulisan ini hendak meninjau dari sisi toleransi.



Seksualitas seseorang adalah takdir ilahi. Takdir ilahi pula yang berbicara melalui fakta bahwa manusia memang tidak sempurna. Tidak semua orang bisa mengelola seksualitasnya (baca : hawa nafsu) dengan baik. Jadilah penyalurannya dimana-mana. Yang radikal disebut sebagai pemerkosaan. Yang ekstrem dinamakan perbuatan tidak menyenangkan. Begitu pula dengan korupsi. Hawa nafsu pula pemicunya. Kemalasan, keserakahan dan ketamakan.



Jangan lupa dengan keadaan. Sebaik apapun kemampuan mengelola hawa nafsu ini pasti kan berhadapan dengan kenyataan. Tidak jarang kenyataan yang ada berbanding terbalik dengan keinginan hati dan kebutuhan. Segala sesuatu membutuhkan biaya. Kala dirasa beban biaya kebutuhan mendasar kehidupan yang semakin lama semakin tinggi semakin berat. Tidak jarang iman yang guncang. Jadilah prostitusi dan korupsi sebagai solusi.



Perbedaan substansial dari prostitusi dan korupsi ini sebenarnya terlihat dari dampak langsung tidaknya terhadap kehidupan bermasyarakat. Tidak elok melihat bila para penjaja seks menawarkan barang dagangannya di pinggir jalan. Para penjaja ini juga tidak segan-segan mempromosikan barang dagangannya secara terang-terangan. Terang-terangan dalam dunia remang-remang. Jadi tidak heran bila berjumpa entah dimana yang menjajakan tersebut sekalipun sedang tidak berdinas, bagi yang mengenali bisa berlaku sinis. Berbanding terbalik dengan para pelaku korupsi. Perbuatan korupsi bukan dilakukan di tempat umum (baca : pinggir jalan). Caranya pun beragam, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling canggih. Bisa saja tiba-tiba rumah tetangga berubah wujud menjadi elok sekali. Sedap dipandang. Tapi tahukah itu hasil korupsi? Tentu saja tidak. Lama baru ketahuan perilaku korupsi seperti ini. Belum lagi para pelaku dan penikmat hasil korupsi umumnya mahir bersandiwara. Santun berbicara. Sopan berperilaku. Ujung-ujungnya malah dihormati masyarakat karena status sosial yang tinggi (baca : kaya gitu lho) dimata masyarakat. Sedangkan prostitusi lebih mudah menjadi sasaran tembak masyarakat. Dihina, dibenci dan dicaci maki. Tidak ada lagi simpati apalagi empati. Inilah ilustrasi sederhana yang seringkali dijumpai di tanah air tercinta ini.



Padahal dalam jangka waktu yang cukup lama perilaku korupsi ini berakumulasi fatal, vital dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia sudah dua kali mengalaminya. Yang pertama tahun 1965 dan yang kedua tahun 1998. Harga-harga melangit. Orang-orang menjerit. Ada yang putus asa hingga bunuh diri. Bahkan ada pula yang bunuh-bunuhan. Inilah bukti otentik paling kongkrit. Apakah korupsi secara sistematis dan struktural digolongkan sebagai bahaya laten negara? Tidak, sekali lagi TIDAK. Setidak-tidaknya untuk saat ini.



Pasca reformasi nasib prostitusi semakin menjadi-jadi. Seperti narapidana yang masuk penjara berulang kali. Ada beragam perda yang melarang prostitusi. Yang terkini adalah rencana penutupan Gang Dolly. Prostitusi tetap saja dihina, dibenci dan dicaci maki.



Falsafah prostitusi dan korupsi sebenarnya sangat berbeda. Prostitusi itu menjual diri sendiri kepada orang lain sedangkan korupsi berarti mencuri sesuatu yang bukan miliknya sendiri. Itulah sebabnya prostitusi tidak termasuk tindak pidana kriminal sebagaimana korupsi berdasarkan KUHP.



Mana yang baik diantara kedua pilihan yang buruk antara prosititusi dan korupsi untuk ditoleransi?



Bagi yang mengklaim berkeTuhanan wajib untuk berperikemanusiaan. Tidak ada perikemanusiaan tanpa toleransi. Saya secara sadar dan sengaja memilih toleransi untuk prostitusi daripada korupsi. Oleh sebab itu saya berharap negara seharusnya melokalisir (baca : meminimalisir) prostitusi dan korupsi. Untuk prostitusi dibuat lokalisasi. Untuk (pelaku) korupsi ya penjara. Sita semua hartanya.



Bagaimana dengan anda?


Selamat malam Indonesia-Ku


bersambung



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/09/prostitusi-vs-korupsi-617019.html

Prostitusi vs Korupsi | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar