harga genset murah

Review “Soekarno” Drama Politik dan Cinta Sang Proklamator


1386932886901695623

Ariyo Bayu dan Lukman Sardi sebagai Soekarno-Hatta (kredit Filmsoekarno.com)



Judul Film : Soekarno


Sutradara : Hanung Bramantyo


Bintang : Ariyo Bayu, Maudy Koesnaedi, Lukman Sardi, Tanta Ginting, Tika Bravani, Ferry Salim,


Rated : **** (Excellent)



Suatu hari sekitar 1939 Bung Karno (Ariyo Bayu) mengajar di sebuah kelas, sekolah Muhamadyah di Kota Bengkulu. Dia melontarkan pertanyaan: “Apa perlu Indonesia merdeka? Seorang murid perempuan menjawab: buat apa? Di bawah Belanda, kita bisa sekolah dan bisa bekerja?” Bung karno tertengun. “Ada yang setuju?” tanyanya minta opini lain. Seorang murid perempuan di bangku belakang menjawab: “Tidak setuju! He, Titik (bicara pada kawannya kalau nggak salah) , apa kamu bisa makan di restoran orang Belanda?”


Soekarno tertengun. “Siapa nama kamu? Anak perempuan itu menjawab : Fatmawati, Pak. Soekarno kemudian mengomentari bahwa Hasan Din, ayah Fatmawati dipecat sebagai pegawai Belanda hanya hanya karena dia adalah pengurus Muhamadyah. “Itu sebabnya kita harus merdeka!”


Adegan ini menurut saya salah satu adegan yang menarik karena dua hal. Pertama, politik menyentil arti kemerdekaan dan kedua pertemuan antara Soekarno dan Fatmawati. Lewat adegan itu juga diperlihatkan bahwa Fatmawati (Tika Bravani) sevisi dengan Soekarno tentang kemerdekaan.


Dari Kusno ke Soekarno


Bagi saya Soekarno sebuah film yang digarap cukup teliti, apik, dengan detail-detail sejarahnya mengambil sebagian kehidupan Proklamator RI itu mulai masa kecilnya pada 1912 hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Beberapa adegan opening scene mulai dari penangkapan Soekarno dan beberapa tokoh pergerakan lain di rumah Dr. Soejoedi di Yogyakarta oleh polisi Hindia belanda pada Desember 1929 begitu mencekam, saya sebagai penonton benar-benar dibawa ke masa itu.


Dari adegan ini melompat ke 1912 di Blitar, di mana seorang anak kecil bernama Kusno (Emir Mahira) badannya kurus dan sering sakit-sakitan, hingga orangtuanya mengganti namanya dengan nama Soekarno, diambil dari nama Karna, kstaria yang standing dengan Pandawa. Lalu adegan ke kawasan rumah HOS Cokroaminoto di Surabaya. Di sana Soekarno mondok bersama Kartosuwiryo (sejarah kemudian tahu kelak mereka berseberangan justru sesudah Indonesia merdeka).


Ada adegan menarik pada periode ini Soekarno sempat dengan gadis Belanda bernama Mien. Dia melukis gadis itu (memperlihatkan Soekarno punya bakat seni dan mungkin juga arsitek) dan gadis itu tertarik. Soekarno kamu Marxist? Soekarno menjawab: ….dan saya juga muslim. Soekarno nekad apel ke rumah cewek, walau sudah diperingkatkan Kartosuwiryo: nekad kamu, bukan anak bupati? Hasilnya Soekarno diusir oleh ayahnya. “Walau kamu berpakaian seperti kami, kamubukan bagian dari kami,” kata ayah Mien kasar.


Kejadian ini ikut membentuk rasa benci Soekarno pada penjajahan. Soekarno juga belajar pidato dari HOS Cokroaminoto yang isinya anti penjajahan. Adegan tumpukan koran Oetoesan Hindia yang merupakan media Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan penting pada 1910-an lalu melompat ke pidato Bung Karno di depan masa PNI yang oratornya segaya. Seorang pemimpin harus bisa menggenggam hati rakyat. Rakyat sama misteriusnya dengan alam. Kalau bisa memikat hatinya, rakyat mengikut,” demikian kata Cokroaminoto lewat sebuah adegan di kereta sado. Soekarno berhasil memikat hati rakyat.


Di antaranya lewat orasinya.“Kita Tuan di negerinya sendiri. Belanda-belanda itu Cuma numpang. Kita harus tegak berdiri melawan belanda-Belanda itu” Orasi yang akhirnya membuat Soekarno ditangkap dan diasingkan.


Dalam Soekarno tidak diperlihatkan bagaimana pertemuannya dengan Inggit Ganarsih (Maudy Koesnaedi), hanya diceritakan lewat dialog. Namun sosok Inggit digambarkan begitu rela berkorban sebagai perisai Soekarno, menyelundupkan buku-buku dan mendampinginya dengan anak angkat mereka Ratna dan Kartika, serta seorang bernama Riwu (anak dari Ende yang mengikuti Soekarno). Dalam film ini tidak diperlihatkan pengasingan di Ende, langsung ke Bengkulu.


Soekarno semakin dekat Fatmawati. Lewat adegan di pantai , Soekarno menceritakan pada Fatmawati bahwa Jepang akan datang lewat buku Hector Bywater The Great Pasific War (terbitan 1925) yang meramalkan Perang Pasifik antara Jepang dan AS akan terjadi. Inggit pun kemudian mengetahui hubungan Soekarno dan Fatmawati. Mulanya dia meledak, tetapi kemudian sejarah mencatat dia rela melepas Soekarno, tak mau dimadu, tetapi becerai: “Kuantar kau ke gerbang cita-citamu” kalimat yang terkenal dan menyentuh.


Di saat kemelut rumah tangganya, Jepang memulai peperangan Asia Timur Raya. Berahi politik Soekarno kembali menguat. Belanda takluk oleh Jepang. Sesuatu yang dulu dianggap Raksasa bagi Sukarno, kini lenyap. Kemerdekaan Indonesia seolah diambang mata. Sementara itu Hatta dan Sjahrir, rival politik Sukarno dimasa muda mengingatkan bahwa Jepang tidak kalah bengisnya dengan Belanda. Tapi Sukarno punya sudut pandang berbeda.


‘Jika kita cerdik, kita bisa memanfaatkan Jepang untuk upaya meraih kemerdekaan Indonesia’ kata Sukarno. Hatta terpengaruh. Tapi Sjahrir tidak. Bekerjasama dengan Jepang sama saja memposisikan Indonesia menjadi bagian dari Fasisme, musuh Amerika-Inggris-Australia. Sukarno tidak peduli. Dia yakin dengan pilihannya: bekerjasama dengan Jepang untuk Indonesia Merdeka. Bersama Hatta, Sukarno berupaya mewujudkan cita-citanya mewujudkan Indonesia Merdeka. Anak-anak muda pengikut Sjahrir mencemooh Sukarno-Hatta sebagai kolaborator, menjual bangsa sendiri ke tangan Fasis. Tapi Sukarno punya pandangan berbeda.



138693300322252406

Fatmawati (Tika Bravani) dan Soekarno (Ariyo Bayu) (Kredit foto www.filmsoekarno.com)





Detail Sejarah Komplit dan Akting Piawai


Saya memberikan apresiasi pada Hanung Bramantyo yang berhasil menggarap film ini dari segi sinematografi nyaris tanpa cacat alias mulus. Dalam sebuah wawancara dengan saya untuk sebuah media Hanung mengungkapkan biaya yang cukup besar dikeluarkan untuk membeli mobil yang persis zaman itu serta dekornya. Hasilnya memang nggak sia-sia. Hanya dari segi cerita lebih bagus ditangkap oleh orang-orang yang banyak membaca buku sejarah. Bukan hanya soal tokoh-tokoh umum, seperti Soekarno, Hatta dan atau Sharir, tetapi siapa itu Riwu, Ratna dan Kartika, Hasan Din ayah Fatmawati, hingga gadis Belanda bernama Mien merupakan hal yang belum tentu banyak diketahui.


Dari jajaran departeman casting, seluruh pemain bermain bagus. Saya tidak mempersoalkan Ariyo Bayu sebagai Soekarno, saya kira dia maksimal. Mulai cara dia berpidato, hingga gerak-geriknya. Nggak harus terlalu mirip. Reza Rahadian juga nggak harus mirip Habibie, tetapi gerak-geriknya sama. Lukman Sardi juga baik memerankan Hatta. Tetapi tidak mengherankan memang aktor kawakan. Juga Maudy Koesnaedi merupakan kharakter terbaiknya dibanding sinetron-sinetronnya, juga latar belakangnya yang memang dari Jawa Barat.


Yang patut dikasih aplaus adalah pemeran Syahrir, Tanta Ginting. Gerak-gerik tubuhnya,lontar ucapannya sangat menyakinkan. Saya suka adegannya ketika memaki para pemuda yang menculik Soekarno-Hatta. “Kembalikan mereka ke Jakarta! Walau ada satu, dua atau tiga Syahrir tidak ada yang bisa menggantikan Soekarno!” Sekalipun kerap tidak setuju, Syahrir mengakui kekuatan Soekarno penting bagi bangsa ini.


Tadinya saya juga khawatir peran Tika Bravani sebagai Fatmawati. Ternyata dia benar-benar keluar dari peran dia dalam film Alangkah Lucunya Negeri Ini dan sebuah film pendek bernuansa thriller horor. Memang latar belakang keluarga berdarah Sumatra membantu, tetapi Tika sosialisasinya lebih banyak di Jakarta. Mantan finalis None Jakarta kelahiran 1990 ini bekerja keras menjadi sosok Fatmawati dengan dialeknya. Eskpresi mukanya ketika tahu Riwu selalu membawa foto Inggit, hingga menjahit bendera merah putih cukup natural.


Secara keseluruhan Soekarno salah satu film terbaik yang pernah dihasilkan sineas bangsa ini. Sebuah film drama sejarah politik, sekaligus juga ada sisi romantisnya. Saya hanya mengkritik waktu pemutarannya kok film-film Indonesia yang bagus-bagus ditumpuk semua pada Desember 2013.


Irvan Sjafari



sumber : http://hiburan.kompasiana.com/film/2013/12/13/review-soekarno-drama-politik-dan-cinta-sang-proklamator-616273.html

Review “Soekarno” Drama Politik dan Cinta Sang Proklamator | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar