harga genset murah

Toleransi Setengah Hati dan Hubungan Antar Umat Beragama


Jika baru mengenal seseorang, mana yang lebih mudah kita tanyakan, agama atau sukunya (jika tidak ada ciri-ciri khusus seperti jilbab untuk perempuan )? Dari pengalaman pribadi dan kawan-kawan, umumnya lebih mudah bertanya tentang suku daripada agama. Bahkan kadangkala, agama orang tersebut kita ketahui hanya secara kebetulan misalnya ketika dia berdoa.Ada rasa sungkan menanyakan agama sehingga seringkali orang berwajah Melayu seperti Jawa atau Batak diasumsikan sebagai Muslim padahal tidak semuanya Muslim.


Sungkan bertanya agama di Indonesia menunjukkan ada sesuatu yang kurang terbuka dalam hubungan antar umat beragama. Keterbukaan sangat diperlukan terutama untuk menghormati hak seseorang yang berbeda agama dengan kita. Keterbukaan juga dapat mengurangi potensi konflik hubungan antar umat beragama.Dalam beberapa hal, ada baiknya kita belajar keterbukaan hubungan antar umat beragama dari Malaysia terutama Sabah dan Sarawak yang penduduknya relatif berimbang antara Melayu (Islam) dan Dayak serta Cina (mayoritas bukan Islam).


Pertama, makanan halal.Seorang teman non-Muslim pernah berkata dia tidak mengundang saya ke acara di rumahnya karena makanan yang disediakan tidak halal. Pernah juga diajak ke pesta ulang tahun keponakan seorang kawan namun kawan tersebut mengatakan tidak banyak pilihan makanan yang boleh kami (yang muslim) makan karena kebanyakan makanan tidak halal. Seorang teman bangsa Cina mengundang ke pesta perkawinan. Ketika sampai di tempat pesta, ada 2 meja khusus (sesuai dengan jumlah tamu Muslim yang datang) yang di atasnya ada kertas dengan tulisan “Reserved for Muslims Only- Halal Food”.


Contoh di atas rasanya sulit ditemukan di Indonesia.Bagi non Muslim, berterus terang terhadap halal tidaknya makanan yang dihidangkan khawatir dianggap meragukan kepercayaan teman Muslim terhadapnya.Sementara Muslim yang diundang juga enggan bertanya khawatir diartikan tidak percaya kepada pengundang non Muslim.Kedua belah pihak merasa ragu namun pada saat yang bersamaan saling menjaga perasaan.


Akibatnya timbul ketidakjelasan yang tak jarang menimbulkan bisik-bisik. Makanannya halal atau tidak ?Tidak datang maupun datang ke acara sama-sama tidak enak.Kalau datang khawatir dengan makanannya, kalau tidak datang khawatir dianggap tidak menghormati pengundang.Kadang ada informasi, juga dari bisik-bisik, bahwa makanannya dipesan di katering Muslim atau tukang masaknya Muslim. Seringkali kekhawatiran tersebut tidak pernah terjawab dan hilang ditelan waktu sampai muncul lagi peristiwa yang sama berulang kali.


Di Malaysia, teman yang non Muslim biasa berterus terang tentang halal tidaknya makanan sebagai sikap menghormati hak temannya yang Muslim. Alih-alih tersinggung, si Muslim justru berterima kasih karena haknya dihormati. Si Muslim juga mengerti bahwa menyediakan makanan yang berbeda dengan yang biasa dimakan tuan rumah memerlukan upaya tambahan yang akan memberatkan tuan rumah. Keterbukaan seperti ini membuat kedua belah pihak sama-sama enak dan menghindarkan syak wasangka terutama jika yang non Muslim benar menyediakan makanan halal untuk tamunya.


Orang Indonesia mungkin bisa dibilang rendah diri terhadap isu makanan halal di negaranya sendiri yang mayoritas Muslim.Upaya membicarakan halal tidaknya makanan kadang dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, bukan sebagai hak yang harus dihormati.Akibatnya bukan hanya hak mendapatkan makanan halal yang tidak dipenuhi, Indonesia telah kehilangan potensi bisnis yang luar biasa misalnya dari pariwisata dan bisnis lainnya.


Australia saja yang mayoritas penduduknya non Muslim mengekspor daging halal ke negara-negara Muslim. Bahkan beberapa maskapai penerbangan asingmilik negara non Muslim, menyediakan pilihan makanan halal sepanjang diminta ketika membeli tiket. Hak Muslim untuk mendapatkan makanan halal sudah sejajar dengan hak orang Yahudi untuk mendapatkan Kosher (makanan halal ala Yahudi) dan hak para vegetarian dengan berbagai variannya.


Kedua, menuntut toleransi berlebihan pada bulan Ramadhan. Setiap memasuki bulan Ramadhan, pejabat Muslim menghimbau masyarakat untuk menghormati orang yang berpuasa.Warung kaki lima atau ruko yang menjual makanan/minuman mengartikannya dengan memasang tirai supaya orang yang makan/minum tidak terlihat dari luar. Begitu lemahkah iman Muslim Indonesia sehingga bisa tergoda untuk berbuka puasa jika melihat orang lain makan ?(Dengan iman selemah ini, mana tahan untuk tidak korupsi?).


Sebaiknya tempat berjualan makanan/minuman tidak memasang tirai ketika bulan puasa.Hormati hak non Muslim untuk makan karena mereka memang mau makan bukan mau menggoda Muslim yang sedang puasa. Sebaliknya yang Muslim akan malu makan di tempat terbuka karena akan ketahuan orang yang mengenalnya. Jika di Malaysia ada polisi Syariah yang merazia Muslim yang makan tidak pada waktunya di tempat umum, maka di Indonesia masyarakatlah yang bisa berperan sebagai “polisi”.


Tuntutan toleransi yang lain adalah dalam bentuk pengurangan jam kerja di instansi pemerintah dan pengurangan jam sekolah/kuliah terutamadi sekolah/perguruan tinggi negeri. Secara tidak langsung, toleransi seperti ini menyebabkan Muslim Indonesia menjadi kurang produktif pada bulan Ramadhan. Tidak ada pengurangan jam kerja/sekolah/kuliah di Malaysia pada umumnya. Instansi pemerintah hanya mengurangi jam istirahat dari 1 jam menjadi 30 menit sehingga karyawan bisa pulang lebih awal 30 menit sementara jam mulai kerja tidak berubah.


Ketiga, mengucap salam. Kadang ada pejabat non muslimdi Indonesia yang mengucapkan salam khas Islam pada acara resmi. Mungkin maksudnya adalah menghormati yang hadir yang kebanyakan Muslim walau itu bukan ukuran toleransi.Di Malaysia hal ini cukup jelas. Tidak ada non Muslim yang mengucapkan salamsecara Islam. Mereka cukup mengatakan ‘salam sejahtera’ tanpa dicurigai sebagai tidak toleran kepada Muslim. Muslim Malaysia juga hanya mengucapkan “salam sejahtera” untuk non Muslim tanpa rasa tersinggung dari non Muslim.


Di Indonesia, ucapan salam kepada non Muslim pernah membuat heboh. Kehebohan yang tidak perlu jika kedua belah pihak yang berbeda agama tahu salam khasnya masing-masing. Jika mau jujur, ada non Muslim yang merasa tidak nyaman jika mendapat salam secara Islam apalagi ketika mereka terpaksa menjawabnya demi menyenangkan si Muslim. Jadi hormatilah non Muslim dengan tidak gebyah uyah mengucap salam seperti kebiasaan Muslim di Indonesia yang memberi salam setiap mengangkat/menjawab telepon siapapun peneleponnya. Anehnya, mereka yang mengharamkan mengucap salam kepada non-Muslim lupa dengan prinsipnya sendiri ketika menjawab telepon justru pada saat si penelepon non Muslim tidak menghendaki salamnya.


Keempat berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan.Di Malaysia perempuan dan laki-laki umumnya tidak berjabat tangan. Hal ini bukan hanya terjadi di kalangan Muslim tetapi juga laki-laki non Muslim terhadap perempuan Muslim. Perempuan Muslim yang enggan dijabat tangan oleh lelaki bukan muhrim, senang dengan kondisi tersebut tanpa perlu merasa sungkan karena telah menolak berjabat tangan.Di Indonesia, tidak berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan bagi sesama Muslim saja bisa bikin heboh. Padahal menghormati seseorang bukan selalu dengan berjabat tangan. Lihat saja orang Thailand, yang beragama Budha terutama dalam acara resmi, mereka memberi salam dengan cara mengatup kedua belah tangan yang diletakkan di dada tanpa perlu berjabat tangan.


Kelima, mengucapkan selamat Natal. Ini juga bisa bikin heboh terutama antara sesama Muslim. Mari kita hormati mereka yang memiliki keyakinan untuk tidak mengucapkan Natal dan jangan artikan itu sebagai bentuk tidak toleran terhadap agama lain. Sebaliknya, orang Muslim yang tinggal di negara Barat seringkali mendapat ucapan Merry Christmas dan kado Natal karena ucapan Natal lebih dianggap sebagai momentum berbagi kebahagiaan daripada ritual.


Cukup banyak kehebohan tidak produktif yang dapat mengganggu hubungan antar umat beragama di Indonesia bahkan dalam kalangan pemeluk agama yang sama. Hal ini disebabkan kurangnya keterbukaan dalam hubungan tersebut, kurang menghargai perbedaan dalam artian yang sesungguhnya dan terjadinya hegemoni makna dalam kata toleransi.Banyak hal lain yang lebih penting yang menuntut kita bertoleransi tanpa memandang agama yang dianut. Sejauh mana kita mampu menghargai perbedaan adalah cermin dari sejauh mana ketulusan hubungan antar umat beragama.


Saya jadi bertanya-tanya, apasaja yang dibicarakan oleh para “tokoh” lintas agama ketika ada “dialog antar umat beragama”? Pernahkah mereka menyentuh substansi kehidupan sehari-hari dalam hubungan antar umat beragama seperti yang dibahas di atas ? Jangan-jangan para “tokoh” tersebut juga sama dengan kebanyakan dari kita yang sungkan bicara terus terang. Jika demikian, jangan berharap banyak dengan berbagai dialog tersebut.Pada akhirnya, jika Malaysia bisa memberi makna toleransi dengan hubungan yang lebih terbuka dan terus terang, mengapa kita puas dengan toleransi setengah hati?



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/12/toleransi-setengah-hati-dan-hubungan-antar-umat-beragamadi-indonesia-618558.html

Toleransi Setengah Hati dan Hubungan Antar Umat Beragama | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar