harga genset murah

Tragedi Bintaro-2: Alarm Sistem Keamanan Transportasi Nasional 2014?


Setelah menyimak berita media tentang “Tragedi Bintaro-2” yang terjadi pada Senin (9 Desember 2013) lalu, sungguh memilukan hati kita sebagai masyarakat Indonesia, khususnya para pengguna jasa layanan Kereta Rel Listrik (KRL) di Jabodetabek. Saya mendadak teringat syair lagu karya Iwan Fals berjudul “1910”. Kenapa judulnya “1910”? Bahwa, pada angka “1910” itu terkandung arti tanggal 19, bulan 10 atau Oktober karena peristiwa “Tragedi Bintaro-1” terjadi pada Senin, 19 Oktober 1987. Pertanyaannya, apa yang salah dalam mekanisme “Sistem Keselamatan Perkereta-apian Nasional” kita?



Dalam bait pertama lagu “1910” itu disebutkan, “Apa kabar kereta yang terkapar di senin pagi, Di gerbongmu ratusan orang yang mati, Hancurkan mimpi bawa kisah air mata”, dapat dimaknai bahwa peristiwa tragedi Bintaro ini mengejutkan semua pihak. Terlebih, peristiwa kecelakaan Kereta Api di Bintaro 1987 itu menelan banyaknya korban jiwa, hingga Iwan Fals mengilustrasikannya dengan syair, “Tanah Jakarta berwarna merah”.



Senin, 19 Oktober 1987, adalah tanggal monumental “Tragedi Bintaro-I” dalam sejarah keselamatan perkereta-apian nasional kita, karena terjadinya peristiwa tabrakan dahsyat antara 2 unit Kereta Api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan. Sebagai refleksi sejarah Tragedi Bintaro-1, bahwa KA 225 berjalan dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30km/jam. Dua unit Kereta Api yang dipenuhi penumpang, pada Senin pagi (19 Oktober 1997) bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75. Kedua Kereta Api hancur seketika, dan kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat, dengan jumlah korban jiwa 156 orang, serta ratusan penumpang lainnya luka-luka dan mengalami trauma psikologis. “Air mata, air mata..”



Dan, peristiwa Tragedi Bintaro-1 itu menjadi catatan kecelakaan terburuk dalam sejarah transportasi perkereta-apian di Indonesia, sehingga peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia. Dari hasil penyelidikan peristiwa Tragedi Bintaro-1 itu, akhirnya Pemerintah meregulasikan beberapa undang-undang tentang perkereta-apian guna penataan sistem keselamatan transportasi perkereta-apian nasional. Bila sistem regulasi sudah ada, maka seyogyanya indikator penyebab kecelakaan kereta-api dari olah TKP di Bintaro pada 09 Desember 2013 lalu, setidaknya dapat segera ditemukan institusi penyidik (Polri dan KNKT), apakah faktor technical error, human error, ataukah hal lainnya?



Dan, dari hasil olah TKP inilah, semestinya menjadi bahan evaluasi, analisis, serta pencarian solusi agar kecelakaan transportasi perkereta-apian nasional tidak berulang kembali. Serta, tidak menjadi trauma bagi masyarakat pengguna jasa layanan KRL Commuter Line di Jabodetabek.



Senin, 09 Desember 2013, pukul 11.15 WIB, kisah “Tragedi Bintaro-2” terjadi, ketika KRL Commuter Line 1131 tujuan Serpong-Tanah Abang ditabrak oleh Truk Tangki BBM milik PT. Pertamina yang mengangkut bahan bakar jenis premium 24.000 liter di perlintasan Kereta Api Bintaro Permai, Pondok Betung, Pesanggarahan, Tangerang Selatan. Menurut pemberitaan media, bahwa insiden kecelakaan tragis di Bintaro itu terjadi akibat pengemudi Truk Tangki BMM PT. Pertamina diduga nekat menerobos pintu perlintasan rel Kereta Api, meskipun alarm tanda KRL akan melintas sudah dibunyikan petugas pintu perlintasan. Akibatnya, Tanki Truk Pertamina itu meledak, kemudian Gerbong-1 satu dan Gerbong-2 Khusus Wanita terbalik. Akibatnya, bahwa Masinis, Asisten Masinis dan Teknisi KRL 1131 meninggal dunia. Kemudian, dikhabarkan beberapa penumpang meninggal dunia, 85 penumpang lainnya mengalami luka bakar dan luka-luka. Para korban luka-luka dan yang selamat juga mengalami trauma psikologis. Sementara, pengemudi dan kernet Truk Tangki BBM PT. Pertamina dirawat karena luka bakar di Rumah Sakit Pertamina.



Sebagai catatan, bahwa sepanjang jalur KRL Commuter Line di Jabodetabek masih banyak terdapat jalan perlintasan liar tanpa adanya palang pintu pengaman bagi kendaraan bermotor. Ironinya, meski sudah dihimbau oleh PT. KAI (Kereta Api Indonesia) agar warga masyarakat tidak membuat perlintasan liar untuk menghindari kecelakaan Kereta Api, namun masih banyak warga yang menolak karena menginginkan adanya akses jalan, sekalipun berbahaya. Maka, langkah koordinasi dan sosialisasi antara PT. KAI (Persero), PT. KAI Commuter Jabodetabek, Kementerian Perhubungan, Polri, KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi )dengan Kepala Desa di sekitar wilayah lintasan KRL seyogyanya diefektifkan, dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keselamatan, kedisiplinan lalu-lintas, dan ketertiban umum.



Selain itu, potensi faktor technical error dan human error sebagai penyebab kecelakaan transportasi KRL, seyogyanya juga menjadi agenda pemberdayaan SDM pegawai di PT. KAI dan PT. KAI Commuter Jabodetabek. Sehingga, faktor kelalaian manusia dapat diminimalisir.


Sehingga, akan tercipta peningkatan jasa layanan transportasi perkereta-apian nasional, keselamatan dan kenyamanan penumpang, serta ketertiban lalu-lintas di perlintasan Kereta Api. Maka, sanksi hukum bagi pelanggar perlintasan Kereta Api harus ditegakkan aparat Kepolisian, sehingga menciptakan efek jera bagi masyarakat yang ingin melanggar hukum.



Bahwa, analisis hukum terkait penyidikan penyebab terjadinya “Tragedi Bintaro-2”, secara umum dapat diindikasi menjadi 4 indikator, yakni faktor sarana, prasarana, manusia, dan eksternal. Faktor Sarana, misalnya, pengereman KRL tidak bekerja dengan baik, kerusakan pada as dan roda. Faktor Prasarana, misalnya, jalan rel yang tidak layak, bantalan kayu rapuh, rel patah, badan jalan longsor atau amblas, dan lain sebagainya. Faktor manusia, misalnya, masinis yang tidak melaksanakan Standar Prosedur Operasi (SOP) yang berlaku, atau pengaturan jadwal dinas yang kurang baik, sehingga menimbulkan kelelahan fisik. Terakhir, faktor eksternal, lebih cenderung disebabkan karena sikap masyarakat yang tidak disiplin dalam melintasi perlintasan KRL, bangunan liar yang mengganggu pandangan bebas masinis, vandalisme karena pencurian alat lintasan kereta, atau aksi pelemparan kaca oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab. Maka, diperlukan perhatian serius Pemerintah dalam hal ini.



Mengakhiri permenungan tentang Tragedi Bintaro 2013, bait terakhir syair lagu “1910” karya Iwan Fals mendoakan bagi para korban kecelakaan Kereta Api di Bintaro, “Nusantara kau simpan kisah kereta, Nusantara kabarkan marah sang duka, Saudaraku pergilah dengan tenang, Sebab luka sudah tak lagi panjang..”. Semoga, peristiwa tragedi Bintaro 2013 ini tak terulang kembali di masa mendatang. Dan, menjadi pelajaran mahal bagi Pemerintah, Kementerian Perhubungan, PT. KAI, PT. Pertamina, dan kita sebagai masyarakat Indonesia. Untuk lebih menghargai hukum dan keselamatan sesama dalam berkendaraan di jalan raya. Kejadian tragis di Bintaro ini menjadi keprihatinan kita bersama, untuk saling menghargai.



@ Anindya Daly


(Praktisi Seni Budaya Paksi Katon, Yogyakarta)


email: anindya.daly15@gmail.com



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/11/tragedi-bintaro-2-alarm-sistem-keamanan-transportasi-nasional-2014--618358.html

Tragedi Bintaro-2: Alarm Sistem Keamanan Transportasi Nasional 2014? | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar