harga genset murah

2,4 M Untuk Pengukuhan Sang Wali Aceh, Uang darimana?


Pemerintah Aceh memang luar biasa. Tidak saja sangat berlimpah anggaran yang diperoleh dari dana otsus yang berjumlah trilyunan rupiah namun juga memiliki kenekatan dan keberanian luar biasa dalam menggunakan anggaran tersebut tanpa mempedulikan landasan-landasan hukum yang menyertainya. Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Majelis Adat Aceh (MAA) Paradis A. Hamid Zein, dimana Pemerintah Aceh telah menyetujui pagu anggaran sebesar 2,4 milyar untuk pengukuhan Wali Nanggroe ke-9 Malik Mahmud Al Haytar, Senin 16 Desember 2013 mendatang. Pertanyaannya adalah darimana uang tersebut berasal?





Anggaran tersebut dialokasikan dari MAA yang selama ini rajin melakukan sosialisasi qanun Wali Nanggroe yang masih menjadi perdebatan dengan Pemerintah Pusat maupun kontroversi di tengah masyarakat Aceh sendiri. Sebelumnya, Pemerintah Pusat melalui Mendagri, Gamawan Fauzi secara tegas melarang pengukuhan tersebut dilaksanakan sebelum Pemerintah Aceh maupun DPRA melakukan klarifikasi 21 items persoalan yang sudah disampaikan kemendagri terkait qanun Aceh Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe (Sumber: http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=205121 ).





Hal ini dinilai penting sebab terkait dengan anggaran yang menyertai lembaga tersebut, tidak akan dapat digelontorkan tanpa perubahan qanun Wali Nanggroe. Kepala Biro Hukum Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh menyatakan bahwa pelarangan pengukuhan Wali Nanggroe sebelum perubahan qanun merupakan upaya pemerintah untuk mencegah Wali Nanggroe melanggar hukum. Ia juga menambahkan andaikan pengukuhan tetap dilaksanakan maka Wali Nanggroe pun tidak dapat beroperasi karena anggaran yang menyertainya tidak akan disetujui oleh Pemerintah Pusat untuk diturunkan.





Di lain pihak, Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, Abdullah Saleh menyatakan bahwa pihak Kemendagri ngawur dan tidak paham persoalan selama ini. Ia justru balik menantang apabila dilarang maka ia meminta surat pelarangannya dan dasar/landasan dari pelarangan pengukuhan tersebut (Sumber: http://acehterkini.com/abdullah-saleh-biro-hukum-kemendagri-itu-ngawur/#.UqpqYFN-YwJ ).





Polemik persoalan Wali Nanggroe ini memang sudah terjadi sejak DPRA mengesahkan qanun Wali Nanggroe November 2012 lalu. Penolakan masyarakat Aceh terus bergulir di tengah ngototnya DPRA dan Pemerintah Aceh untuk mengukuhkan lembaga Wali Nanggroe. Bahkan di tengah kontroversinya tersebut, Pemerintah Aceh tak segan justru menggelontorkan dana ratusan milyar untuk kepentingan Wali Nanggroe, seperti pembuatan istana Wali Nanggroe yang disebut-sebut lebih mahal biayanya dari rumah selebritis dunia, anggaran jalan-jalan sang Wali ke luar negeri dan berbagai kegiatan sang Wali lainnya yang dianggarkan dari APBA. Artinya, rakyat Aceh lah yang telah membiayai operasional sang Wali selama ini. Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar bagi rakyat Aceh, jika qanun belum disetujui oleh Pemerintah Pusat, lalu darimana legalitas anggaran diperoleh untuk membiayai keperluan dan kegiatan sang Wali selama ini?





Sebuah tautan jejaring sosial mengungkap ilegalnya penggunaan biaya operasional sang Wali selama ini. Tautan berjudul “Surat Terbuka Untuk SBY” menyebutkan bagaimana sang Wali selama ini menggunakan biaya operasional sebesar 65 milyar rupiah yang dititipkan melalui MAA, yang sebenarnya dana tersebut belum dapat digunakan karena belum adanya landasan hukum yang membolehkan sang Wali untuk menggunakannya.(http://www.achehscandinavia.com/2013/10/surat-terbuka-untuk-presiden-sby.html#.UlKbJ0fQU-I.facebook ).





Bagi saya pribadi hal inilah yang harus diluruskan baik oleh Pemerintah Aceh maupun DPRA sebelum pengukuhan Wali Nanggroe dilaksanakan. Sebab bagaimanapun qanun Wali Nanggroe merupakan produk hukum yang telah melewati proses politik hukum di lembaga legislatif, Qanun tersebut sebenarnya mengandung ambiguitas hukum yang akan menimbulkan rasa ketidakadilan serta ketidakpastian hukum. Penolakan sebagian publik dari lintas sektoral terhadap Qanun tersebut adalah sebuah keniscayaan sosiologi hukum, ketika Qanun tersebut belum mampu memberikan rasa ayom,nilai-nilai kemanusiaan,nilai-nilai kebangsaan, kekeluargaan, keanekaragaman, keadilan, nondiskriminasi kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, kesetaraan dan keselarasan kepada publik sebagai hukum yang hidup (living law) dan selaras dengan perkembangan zaman dan kehendak sosial politik masyarakat.





Lebih jauh lagi, sebagai produk hukum tentunya dapat memberikan kepastian hukum dan kejelasan bagi masyarakat utamanya dalam penggunaan anggaran yang menyertainya karena bagaimanapun anggaran yang digunakan merupakan uang rakyat yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara benar penggunaannya.



Akhirnya, saya hanya akan mengutip pernyataan salah seorang tokoh eks kombatan GAM beberapa waktu lalu di Meulaboh, Dr. Husaini Hasan yang menyatakan bahwa sebaiknya pengukuhan Wali Nanggroe sebaiknya ditunda sampai dengan persoalan-persoalan yang mengganjal dapat diselesaikan dengan baik. Saya kira pernyataan tersebut cukup bijaksana ketika persoalan terus muncul, hendaknya para elit mulai berfikir dan introspeksi untuk melihat kembali akar masalah yang ada dan memperbaikinya terlebih dahulu sebelum mengambil sebuah keputusan.





Rafli Hasan





sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/13/24-m-untuk-pengukuhan-sang-wali-aceh-uang-darimana-618141.html

2,4 M Untuk Pengukuhan Sang Wali Aceh, Uang darimana? | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar