Tersenyum gemulai, meski dalam benak tersimpang stereotipe
Rasa curiga yang berlebih akan pendatang
Dalam hati ia bertanya , nada cemas,
Mencemaskan lahan yang kian sempit
Akankah pula ia akan terampas kembali?
—
Mata berkaca, gerutu gerahang
Didepan rumah tuhan, ia berucap dalam hati
Ia mengutuk realitas
Berpijak ditanah kelahiran, tapi
Membudak dihadapan tuan
—
Merdeka dalam slogan, lapar dalam kenyataan
Sejuta waktu menegadah tangan
Bukan hanya dihadapan tuan tapi juga didepan tuhan
Tak secuilpun kasih yang tiba
Hanya rasa geram tuan, sekaligus rasa acuh tuhan
—
Bumi yang serakah menghempaskan lamunan
Tempat pelarian dari kenyataan
—
Siang berganti malam, malam berganti siang
Yang ada hanya tragedi
Menyaksikan emas didepan mata,
Deru mesin penambang minyak menyumbat teliga
Tetap saja perut keroncongan
—
Apa boleh buat,
Kami hanya penontong, menyaksikan dengan pasrah
Sebagian pula merasa terhibur
Perampasan di ujung mata
—
Iya, itu perampasan
Perampasan kolektif, menguntungkan elit semata
—
Kini kulit kian keriput, urat-urat kian muncul
Cicit-cucut sudah menumbuh, tapi
Sawah kian menyempit
Yang ada hanya pabrik yang meluas
—
Bukan main, luasnya melebihi kampung kami
—
Ini kenyataan,
Ini jeritan,
Ini teriakan,
Sekaligus tetesan air mata
—
Engkau yang memilih rasa
Kami tidak butuh rasa ibah,
Kami butuh keadilan
—
_Disudut jalan tak bertepi_

0 komentar:
Posting Komentar