Salah satu peran penting partai politik didalam kehidupan masyarakat adalah memberikan pendidikan politik. Dapat dipastikan jika partai politik tidak memainkan peran ini, dapat mempengaruhi kualitas demokrasi di negeri ini. Apa lagi penyaluran ini melalui jalan pemilihan umum yang dilaksanakan 5 tahun sekali. Tak mengherankan jika menjelang pemilu banyak parpol maupun mereka yang akan memajukan diri di pemilu mendatang membagi-bagikan sembako, sumbangan-sumbangan, bantuan sosial, sehingga hasilnya menjadi persoalan yang bersifat materi belaka.
Lebih memalukannya lagi, di era keterbukaan saat ini, dimana informasi telah menjadi instrumen publik, bukan hanya sebagai sarana untuk mengetahui perkembangan, tetapi sudah menjadi bagian dari kebutuhan yang tak terpisahkan. Ada parpol yang sekaligus pemiliknya yang konon akan maju di pilpres 2014, memanfaatkan moment ini untuk meraih dukungan melalui cara-cara yang memalukan.
Implematasi UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 83 sangat jelas menjabarkan, pelaksanaan kampanye pemilu legislatif yang dimulai tiga hari setelah partai ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu dan berakhir saat dimulainya masa tenang. Artinya, sepanjang 11 Januari 2013-5 April 2014, lebih kurang 15 bulan, masyarakat akan menghadapi terpaan kampanye beragam kekuatan yang bertarung. Rentang masa kampanye Pemilu 2014 ini lebih lama dibandingkan Pemilu 2009 yang berjalan 9 bulan (5 Juli 2008-5 April 2009).
Sebelumnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengigatkan, agar upaya penyesatan informasi tak terjadi, dan meminta kepada media penyiaran, khususnya televisi, konsisten pada semangat UU Penyiaran yang mengamanatkan bahwa spektrum frekuensi merupakan milik negara dan menjadi ranah publik. Selain itu, media harus benar-benar bermanfaat untuk kepentingan publik dan masyarakat luas di negeri ini.
Disisi lain dalam ketentuannya, KPI mengigatkan semua lembaga penyiaran harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta pemilu untuk menyosialisasikan diri sebagai peserta pemilu. Media penyiaran juga diberikan kesempatan untuk melakukan peliputan dan menyiarkan pemberitaan terkait peserta pemilu.
Ajakan ini dilatar belakangi situasi dan kondisi pemberitaan saat ini yang sangat menghawatirkan. Langkah yang ditempuh lembaga independet ini, berupaya menyelamatkan penyampaian informasi ditengah-tengah kehidupan berbangsa akibat dari derasnya arus informasi yang membanjiri kehidupan masyarakat.
Sangat jelas, tujuan dari penyiaran yang dilakukan media, selain untuk penyampaian informasi yang layak dan mengutamakan kebenaran, diharapkan berperan meningkatkan mutu pendidikan, mampuh menghadirkan hiburan yang layak ditonton, serta perekat sosial dalam kehidupan masyarakat. Bukan sebagai alat kepentingan politik maupun yang bersifat provokasi yang akhirnya menyebabakan disintegrasi bangsa.
Sebagai pengusaha media yang memiliki sejumlah stasiun televisi, penggunaan media untuk kepentingan politik, bukan pertama kali ini saja dilakukan oleh pemilik MNC Grup, merujuk catataan KPI, televisi di bawah naungan grup MNC, sebelum pecah kongsi dengan Surya Paloh, media yang dimilikinya paling banyak menginklankan Partai NasDem.
Efek dari iklan massif ini, mempengaruhi tingkat elektabilitas Partai. Dikabarkan, elektabilitas NasDem terus menanjak seiring dengan gencarnya iklan Partai yang mengusung tagline perubahan itu. Begitu dirinya hengkang, bukan hanya membawa pengaruh pada penyusutan iklan layanan masyarakat milik Partai NasDem yang selama ini tayang di media milik MNC Grup, beberapa fungsionaris dan kader lainnya didaerah dikabarkan mengikuti jejaknya.
Sangat disayangkan, era reformasi saat ini yang ditandai dengan keterbukaan informasi, justru media berubah haluan. Media terkesan telah menjadi bagian dari kepentingan politik pemilik media itu sendiri. Kondisi ini menunjukan, keberadaan media sudah tidak netral dalam menyampaikan pemberitaan. Pemberitaan lebih banyak di dominasi tentang pemilik media itu sendiri.
Bocornya rekaman arahan Hary Tanoe di Youtube beberapa waktu lalu, membuka tabir strategi Hanura memanfaatkan MNC group. Langkah ini jelas sebuah pelanggaran atas hak-hak publik. Media di era reformasi, yang seharusnya netral, di bawah HT-Wiranto, justru menjadi alat tunggangan kekuasaan. Ini tidak dibenarkan dari sudut apapun
Tampaknya sebuah kesalahan terus dilakukan kembali. Meski pihak stasiun televisi RCTI mengaku kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bahwa tayangan “Kuis Kebangsaan Win-HT” merupakan iklan. Namun, berdasarkan konfirmasi KPI ke Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), tayangan itu bukan iklan.
Penayangan ini pada akhirnya menimbulkan apresiasi yang negatif dan celaan yang memalukan, bahkan ada yang menggangap acara ini hanya dagelan tak bermutu dari pengguna media sosial, termasuk Twitter dan Kaskus. mereka ramai membicarakan kuis kebangsaan Win-HT, Selasa (10/12/2013).
Kebohongan acara ini terlihat dari peserta yang sudah mengetahui jawaban sebelum adanya pertanyaan. Meski konon katanya acara ini memiliki tujuan untuk menguji wawasan dan pengetahuan warga tentang Indonesia, baik sejarah, geografi, Pancasila, pengetahuan umum, maupun informasi terkini, tetap saja acara ini hanya akal-akalan pemilik media untuk memanfaatkan media milikinya. Kuis Kebangsaan WIN-HT hanya kuis settingan untuk melakukan kampanye terselubung dan ini bentuk pembodohan rakyat dan pelanggaran penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan politik.

0 komentar:
Posting Komentar