harga genset murah

Lawan TV Nasional, Siapa Takut??


Melalui akun Twitter-nya, @dipoalam49, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyindir pimpinan partai politik pemilik stasiun TV yang dinilai tak netral dalam pemberitaan dan memanfaatkan frekuensi publik (baca: stasiun TV) untuk kepentingan politiknya


Stasiun-stasiun televisi yang disindir Dipo adalah stasiun yang pemiliknya juga petinggi partai politik dan berencana maju sebagai calon presiden. Ada enam lembaga penyiaran yang dimanfaatkan pemiliknya untuk berkampanye. RCTI, MNCTV, Global TV digunakan Hary Tanoe yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura untuk mengenalkan dirinya sebagai calon wakil presiden. Sementara ANTV, TV One kencang menayangkan iklan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden. Dan Metro TV sudah tentu jadi alat Surya Paloh membangun opini soal dirinya dan Partai Nasdem.


Apa yang dikeluhkan Dipo Alam soal netralitas lembaga penyiaran sangat benar. Sebab sesuai Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002, Pasal 36 Ayat 4, lembaga penyiaran wajib menjaga netralitas isi programnya, tak boleh mengutamakan kepentingan golongan.


Meski sudah jelas-jelas melanggar etika, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak berdaya, tumpul dan tak mampu menindak “tembok besar” para pemilik media TV. KPI hanya berkutat dengan bahasa diplomasi –agar tidak dipojokkan– dengan bahasa, sudah kami tegur secara keras, dsbnya. Tapi nyatanya, hingga saat ini para politisi itu dengan pongahnya masih bermunculan wajahnya di layar kaca pemirsa.


Para pemilik stasiun TV itu tidak sedikitpun memiliki rasa takut akan ditindak secara hukum oleh KPI. Jangankan takut, bertemu dengan pejabat KPI saja, para stakeholder TV itu merasa bukan kelasnya. Mereka cukup mengirimkan karyawannya sebagai wakil ke KPI. Karena rumors yang beredar memang sebagian pejabat KPI itu konon sungkan berhadapan dengan pemilik media karena faktor X. Beda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lebih cerdas dalam bergerak sebagai legal eksekutor para pejabat Indonesia.


Ini fakta yang harus kita hadapi. Justru ini tantangan bagaimana kita bisa mengimbangi kekuatan mereka. Para penguasa media televisi itu yang sudah bertahun-tahun menikmati keistimewaan memonopoli bisnis televisi di Indonesia dengan kekuatan uang.


Sebenarnya pak Dipo tidak usah resah. Ibu Nurhayati tidak usah kecewa dan merasa diperlakukan tidak adil. Karena Demokrat jadi bulan-bulanan black campaign media televisi milik petinggi parpol itu. Bahkan calon Presiden Prabowo Subianto konon juga jadi korban karena aktivitas politiknya “diembargo” tidak akan ditayangkan beberapa stasiun TV. Kabarnya itu kebijakan pemilik media televisinya.


Nah kita harus pandai mensiasati “embargo” media milik petinggi parpol dengan melirik media TV lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepemilikan petinggi parpol. Kalo perlu kita balik “embargo” media televisi itu dengan cara kita larang kader atau caleg partai politik kita membelanjakan iklannya ke media televisi tersebut. Alias giliran kita blacklist mereka dengan tidak memberikan sepeserpun belanja iklan partai politik kita ke media televisi tersebut.


Saat ini ada ratusan TV lokal yang isi program siarannya sudah berkembang pesat. Dan bahkan jauh lebih dipercaya dan ditonton masyarakat daerah ketimbang siaran sentralistik sejumlah TV nasional yang dimonopoli segelintir pengusaha. Beberapa TV lokal justru menjadi leader market di tiap daerahnya.


Jika acuan beberapa TV nasional menggunakan AC Nielsen dengan konsep rating share untuk memetakan pemirsanya. TV lokal lebih realistik. Karena acuan pemirsa TV lokal lebih faktual. TV lokal tidak mengacu pada rating share AC Nielsen yang abstrak itu tapi langsung telepon interaktif. Kita langsung menyapa pemirsa di daerah dimana kita memanfaatkan TV lokal untuk membuka dialog kita dengan rakyat dibawah.


Kalau perlu kita menggunakan TV lokal untuk menggalang opini yang positif, santun dan cerdas, menjelaskan kepada publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga pembunuhan karakter politik terhadap tokoh-tokoh partai bisa dielaborasi. Opini yang tidak seimbang karena beberapa petinggi parpol itu memiliki media Tv bisa kita buat seimbang atau balance.


Jangan khawatir pada Partai Demokrat jika anda jadi bulan-bulanan black campaign atau pemberitaan yang cenderung dan menjurus menjatuhkan kredibilitas partai anda dengan isu kasus korupsi. Anda bisa memanfaatkan media TV lokal untuk membuat berita yang sama terhadap latar belakang pemilik media yang terjun ke politik untuk dibedah dalamnya apakah mereka itu malaikat yang tidak punya dosa??


Tidak sulit membedah jejak rekam mereka. Dalam teori intelijen Rusia. Menghadapi serangan teror melalui media dengan membuat opini negatif terhadap diri kita, bukan dijawab dengan bantahan (defense). Tapi harus dicounter dengan opini yang sama tentang jejak rekam yang “menyerang” kita.


Dan media televisi di Indonesia bukan cuma “enam tv” itu. Masih ada enam stasiun TV bersiaran secara nasional yakni Kompas TV, Net Tv, Trans, Trans 7, Indosiar dan SCTV. Dan masih ada 165 tv lokal di setiap daerah. Mengapa tidak kita manfaatkan untuk membangun opini yang positif. Mengajak masyarakat lebih cerdas dalam menyikapi keadaan. Jangan sampai pemirsa kita cekoki dengan tayangan yang terus menyudutkan kita dengan hal-hal buruk karena ada kepentingan dari sang pemiliknya.


Ayo kita manfaatkan kehadiran TV lokal pasca diterbitkannya UU Penyiaran. Jika perlu kita dorong pemerintah melalui Menkominfo untuk mempercepat proses perijinan TV-TV lokal yang masih mandek agar terjadi keseimbangan opini, keragaman siaran dan tidak ada lagi keistimewaan monopoli sejumlah TV. Tidak kemudian hanya didominasi oleh sekelompok pemilik modal yang bertahun-tahun menikmati monopoli puluhan frekuensi yang notabene milik negara dan digunakan untuk kepentingan publik bukan kepentingan sekelompok mereka yang menguasainya saat ini.


Semoga berhasil. Intinya, kita harus lawan segelintir orang yang memonopoli kepemilikan TV nasional, siapa takut?



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/09/lawan-tv-nasional-siapa-takut-617867.html

Lawan TV Nasional, Siapa Takut?? | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar