Beberapa hari belakangan ini media-media massa di Indonesia dan juga di dunia diwarnai dengan berita berpulangnya sang tokoh fenomenal: Nelson Mandela. Mandela dikenal sebagai tokoh yang membawa dimensi baru dalam dunia politik yaitu, politik pengakuan. Bagi Mandela, suatu negara akan maju dan mencapai kesuksesan jika warganya saling mengakui dan menerima perbedaan yang ada seperti suku, agama, ras dan golongan.
Kepergian Mandela hampir bersamaan dengan komentar bernada rasis Ruhut Sitompul kepada Boni Hargens. Komentar rasis Ruhut tersebut terjadi dalam suatu dialog interaktif via jaringan telpon. Saat itu Ruhut melontarkan pernyataan, “Aku mau tanya, lumpur Lapindo itu warnanya apa? Hitam kan. Ya udah, itu Boni Hargens itu kulitnya hitam”. Boni Hargens pun melaporkan Ruhut ke polisi dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.
Komentar rasial Ruhut adalah potret adanya praksis politik berbasis pengabaian identitas orang lain di negara kita. Dalam kacamata Mandela, Ruhut adalah warga negara yang tidak dewasa dan tidak cocok hidup dalam negara yang diwarnai pelbagai perbedaan seperti agama, suku, ras maupun golongan. Politik pengakuan Mandela mestinya membuat Ruhut tidak mengeluarkan komentar rasial tersebut.
Nelson Mandela sendiri adalah seorang pejuang kemerdekaan melalui politik anti Apartheid (rasial). Mandela berhasil mempersatukan orang kulit putih yang dikenal sebagai kelompok penindas dengan orang Afrika Selatan sendiri yang dikenal sebagai kaum kulit hitam yang selalu menjadi korban. Dia pun berhasil menghapus politik Apartheid yang pada gilirannya melahirkan kesadaran baru akan identitas diri warga Afrika Selatan.
Spirit pengampunan Mandela berhasil menjembatani ketegangan yang terjadi antara kaum kulit putih dengan orang Afrika Selatan. Spirit politik seperti ini berhasil mengantarnya menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan pada 10 Mei 1994. Kesuksesannya menghapus politik Apartheid membuatnya menjadi pemenang nobel perdamaian pada tahun 1993. Di panggung dunia internasional Mandela tampil sebagai mediator dalam perang saudara di Burundi. Dan, secara terbuka, dia juga melancarkan kritik atas politik yang dijalankan oleh Amerika Serikat dan Inggris untuk Irak. Mandela menentang segala praktik politik yang berujung pada peminggiran dan pengabaian nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks negara Indonesia yang kental dengan warna pluralitas, Nelson Mandela dapat dijadikan sebagai rujukan yang penting. Realitas pluralitas suku, agama, budaya, ras dan golongan menurut Mandela dapat menjadi unsur penting untuk membangun negara yang kuat dan modern. Mandela tetap mengakui bahwa faktum pluralitas tersebut menuntut adanya toleransi. Namun, toleransi tidak boleh menghapus kekhasan pelbagai suku, agama maupun ras. Toleransi menurutnya dapat membuat warga negara semakin beradab, menghargai perbedaan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan meniadakan sikap saling curiga serta konflik horizontal.
Dalam konstelasi politik Indonesia, konflik-konflik horizontal itu sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Pascakejatuhan Soeharto misalnya, masyarakat terperosok ke dalam kotak-kotak sosial bernama agama, suku, ras dan golongan. Pelbagai perbedaan tersebut justru menjadi wadah baru bagi lahirnya konflik-konflik horizontal di tanah air. Kotak-kotak sosial tersebut mengedepankan politik kelompokisme dengan ideologi yang berciri katastropik. Politik kelompokisme kian menguat setelah negara tidak mampu mengatasi agresivitas kelompok-kelompok tersebut. Realitas tersebut melahirkan semangat nasionalisme kelompok.
Politik kelompokisme akan tetap menguat jika warga negara menjalankan praksis politik rasial seperti yang ditunjukkan oleh Ruhut Sitompul. Ruhut tentu hanyalah satu di antara sekian banyak orang Indonesia yang kerap mengabaikan warga yang lain. Praksis politik seperti ini mencindrai semangat kebangsaan dan menegasi faktum pluralitas yang ada. Hal-hal seperti ini dapat menghancurkan masa depan bangsa.
Dalam situasi seperti ini politik pengakuan Mandela dapat menjadi jawaban yang tepat untuk menjembatani pelbagai perbedaan yang ada. Bagi Mandela, negara hanya dapat dibangun/eksis bila warganya saling mengakui dan menghargai perbedaan yang ada. Warga negara merupakan aktor yang paling baik dalam menegakkan/menjalankan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti, agama, politik, sosial-budaya, pendidikan dan ekonomi. Negara tidak dapat berjalan kalau masyarakat terbelenggu dalam kelompok-kelompok. Hal ini senada dengan teolog Srilanka, Aloysius Pieris, yang menegaskan bahwa dengan mengakui yang lain serentak kita masuk dalam komunitas basis manusiawi. Komunitas basis seperti ini melampaui pelbagai sekat agama, suku, ras dan golongan. Dalam komunitas seperti ini, kita bersama-sama memperjuangkan kepentingan umum. Kepentingan umum itu sendiri selalu berciri bonum commune. Mandela mengajar kita untuk menjadikan perbedaan yang ada sebagai kekayaan dan kekuatan, bukan sebagai ancaman yang harus disingkirkan atau diperolok.
Bersama Uskup Desmond Tutu, Mandela juga membangun sebuah tradisi politik baru yaitu, politik santun. Suatu tradisi politik yang menghargai perbedaan-perbedaan mendasar seperti ras dan warna kulit. Gagasan dan praksis politik Mandela dipandang sebagai sebuah terobosan baru dalam dunia politik. Dengan itu Mandela mampu membongkar sekat-sekat primordial dalam negara.
Praksis politik berbasis rasial seperti yang dijalankan Ruhut Sitompul sama dengan menghidupkan (kembali) politik Apharteid – yang telah ditentang keras dan dihapus dari bumi Afrika oleh Nelson Mandela – di Indonesia. Politik berbasis rasial adalah negasi atas faktum pluralitas dan menodai konstitusi dan dasar negara: Pancasila. Karena itu, kita harus menolak segala bentuk politik yang berbasis rasial.*

0 komentar:
Posting Komentar