Bagaimanakah menjadi manusia Indonesia itu? Karakter dan nilai dasar apakah yang melekat pada dirinya? Bagaimanakah karakter dan nilai dasar itu semestinya dibangun dan ditempatkan sehingga ia bisa menjadi modal dasar dan motor penggerak bagi para pemimpin dan rakyatnya, menuju mimpi-mimpi besar kita tentang sebuah bangsa yang bermartabat, maju dan berpengaruh secara global?
Itulah beberapa pertanyaan mendasar yang acap berkelindan di kepala sebagaian anak-anak bangsa akhir-akhir ini, setelah menyaksikan berbagai permasalahan pokok yang tak kunjung teratasi sekalipun kita telah lima belas tahun berada di era reformasi. Harapan dan mimpi-mimpi tentang Indonesia yang membahagiakan dan mensejahterakan seluruh warganya, terasa masih begitu jauh. Negeri ini terus terseok-seok, sekalipun pertumbuhan ekonominya dalam lima tahun terakhir dilaporkan cukup kinclong.
Korupsi, misalnya, sampai kini masih menjadi isu besar yang tak kunjung tuntas sekalipun pemerintahan telah tiga kali berganti pasca reformasi. Indonesia masih saja berada di peringkat atas tiap kali diadakan rating oleh berbagai lembaga internasional yang konsen di bidang ini.
Begitu juga pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, daya saing ekonomi, dan keamanan masih tetap menjadi masalah yang membebani. Berdasarkan data statistik, angka-angka di sektor ini boleh saja ada peningkatan, tetapi pergerakannya sangat lambat. Dalam perbaikan masalah infrastruktur, kita masih belum bisa “berlari” seperti Cina, negeri yang juga besar—bahkan lebih besar, dan multietnik seperti Indonesia.
Presiden, gubernur, bupati dan wali kota yang dihasilkan dari pemilu atau pemilukada ke pemilu atau pemilukada berikutnya, ternyata belum mampu menghasilkan sosok pimpinan dan roda pemerintahan yang efektif menjawab tantantangan-tantangan di atas. Pemerintahan yang terbentuk, dalam banyak kasus terlihat masih lebih suka berwacana tinimbang melakukan agenda dan aksi nyata, membenahi masalah-masalah dasar tersebut. Program-program pembangunan yang digulirkan kerap lebih menjadi semacam lips service daripada jawaban kongkrit yang meyakinkan untuk setiap permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Lalu, apa yang salah?
Adalah almarhum Mohctar Lubis, wartawan dan sastrawan senior tiga zaman, salah satu pendiri Kantor Berita Antara dan majalah sastra Horizon, menyebutkan ada enam ciri manusia Indonesia. Keenam ciri tersebut hipokrit, enggan bertanggung jawab, feodal, penuh mistik, artistik, dan lemah. Ceramah budaya bernada sinis yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku pada tahun 1978 itu—Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggung Jawab, meskipun sempat menuai banyak kritik, sebagian benar belaka. Bahkan, dalam realita keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, streotip manusia Indonesia yang disampaikan Muchtar Lubis di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 6 April 1977 itu terasa masih amat relevan.
Tengok umpamanya ulah para pemimpin kita yang—apatah itu seorang presiden, menteri, gubernur, bupati atau wali kota—tatkala ada suatu permasalahan yang timbul akibat kebijakan mereka yang kurang cermat, selalu mereka lebih suka menimpakan kekeliruan itu pada bawahannya. Begitu pun di jajaran birokrasi, ketika mereka ditanya tentang sebuah permasalahan yang timbul, banyak yang suka mengatakan, “Itu bukan saya.” Gaya khas pembelaan untuk sekadar mencari selamat sendiri. Pejabat kita terlihat begitu enggan bertanggungjawab atas kelalaian atau ketidakcermatan kebijakan yang mereka ambil jika kemudian itu ternyata berakibat fatal.
Sebaliknya, jika ada suatu penghargaan atau prestasi yang diraih, maka dengan cepat mereka akan mengatakan, “Itu karena saya.” Lagi-lagi, khas ungkapan manusia yang ingin mencari “enaknya sendiri”, jauh dari sifat dan karakter manusia yang bertanggung jawab.
Dus, memang boleh jadi tidak mudah menjadi manusia Indonesia kini. Sebagai sebuah bangsa, kita tentu tidak ingin streotip ciri menusia Indonesia sebagaimana disinyalir Mochtar Lubis di atas, dilekatkan pada diri kita. Namun, pada tataran empiris, streotip tersebut harus secara jujur kita akui, hingga kini masih terasa cukup relevan. Dari kacamata sosiologis, itulah pula sebabnya mengapa sampai sekarang banyak permasalahan tidak pernah bisa tuntas kita selesaikan.
Ambil contoh kasus Bank Century. Terhadap kasus mega korupsi ini, karena ia menyangkut pucuk-pucuk elite negeri, kita lebih senang menutup-nutupinya daripada membongkar dan menyelesaikannya sampai tuntas. Meskipun fakta-fakta telah banyak terungkap, gaya laju penanganan kasus ini tetap saja ingin dicarikan komprominya. Padahal, kampanye pemerintahan SBY-Boediono, sejak awal dengan lantang menegaskan, akan membersihkan Indonesia dari praktek korupsi. Sungguh betapa hipokritnya kita.
Atau dalam contoh lain, tiap kali menjelang akhir tahun anggaran seperti saat ini, betapa banyak instansi pemerintah yang berusaha menghabiskan dananya secara boros dan sia-sia, dengan melaksanakan aneka seminar, bimtek, perjalanan dinas, atau bentuk-bentuk kegiatan lain, yang jelas-jelas dan nyata-nyata tak ada manfaatnya bagi masyarakat luas. Instansi-instansi pemerintah kita berlomba menghaburkan anggaran, yang sumbernya dikutip dari pajak dan retribusi rakyat, semata demi memberikan “uang lebih” kepada para aparaturnya. Padahal sebelum itu, pemerintah telah menggembar-gemborkan akan menggunakan anggaran secara efektif dan cermat, demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Lagi-lagi, mbel, jauh dari kejujuran dan tanggung jawab. Hal semacam ini bertahun-tahun terus terjadi, tanpa ada yang bisa mengubahnya. Ia pun telah menjadi semacam kultur birokrasi kita.
Di mata saya, Indonesia akan terus dihadapkan pada permasalahan besar yang tak bisa dituntaskan jika ia tidak mampu menghasilkan manusia-manusia berkarakter dan bermental adiluhung, yang berorientasi pada kinerja dan profesionalisme. Dalam konteks seperti itu, proses pembangunan yang kita lakukan tidak akan mampu menghasilkan sebuah bangsa yang kuat, leading dan bermartabat. Sebaliknya, pembangunan yang dilaksanakan hanyalah pembangunan semu, keropos, dan penuh kebohongan.
Begitu pula proses politik dan demokrasi yang kita jalani, akan jauh dari sebuah dinamika pencarian sosok pimpinan yang mencerahkan, menginspirasi, dan memberikan guidance bagi lahirnya sebuah narasi besar tentang ke-Indonesia-an yang membanggakan. Narasi tentang Indonesia sebagai sebuah negeri multikultural yang penuh harapan, yang mampu membawa masyarakatnya menjadi manusia-manusia produktif, berkontribusi dan terhormat.
Pertanyaannya sekarang, akankah Pemilu 2014 mendatang juga hanya menjadi sebuah proses politik dan demokrasi yang dangkal, yang sekadar menjadi bagian prosesi pergantian pimpinan bangsa secara damai, tetapi tak juga mampu membawa bangsa ini naik kelas?
Saya berkeyakinan, proses perbaikan negeri ini—sebagaimana telah dibuktikan oleh banyak sejarah bangsa-bangsa di dunia sejak dulu—haruslah berawal dari terpilihnya para pemimpin yang memiliki karakter dan kapasitas adiluhung. Pemimpin yang visioner, yang mampu mengisi kekosongan narasi tentang sebuah bangsa bernama Indonesia yang kita alami saat ini.
Tengoklah Cina yang bongsor, atau Singapura yang mungil, keduanya bisa melaju pesat. Kedua negara itu berhasil naik kelas setelah memiliki para pemimpinnya yang hebat: Mao Zedong – Deng Xiao Ping untuk Negeri Tirai Bambu, dan Lee Kuan Yew untuk Negeri Singa. Ada pun jiran serumpun, Malaysia, berhasil meninggalkan kita setelah memiliki seorang doktor Mahathir Muhammad.
Lalu, bisakah Pemilu 2014 menghasilkan pemimpin yang mampu membawa Indonesia naik kelas seperti negara-negara itu? Kecerdasan dan kecermatan rakyat negeri ini untuk menilai dan menyeleksi para calon pemimpinnya amat menentukan. Sayang masih banyak saja para pemilih kita yang acuh terhadap masalah ini. Mereka abai, tak mau melakukan pencermatan sejak dini. Banyak yang masih gampang terbuai oleh lipstik pencitraan media semata, tanpa mau menelisik rekam jejak dan prestasinya lebih jauh. Anda?

0 komentar:
Posting Komentar