Menyongsong tahun pemilu 2014, suhu politik di negeri ini makin memanas. Salah satu isu yang saat ini sedang ditunggu-tunggu oleh publik ialah uji materi UU Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden. Tokoh yang mengajukan uji materi inipun bukan tokoh sembarangan karena selain sebagai salah satu kandidat capres itu sendiri, yang bersangkutan juga guru besar hukum tata negara dan mantan menteri hukum dan HAM yaitu Yusril Ihza Mahendra. Sebagai orang yang memang memahami seluk beluk konstitusi, tentu Yusril sudah memperhitungkan secara matang uji materi yang diajukannya tersebut dan tentu saja dia sudah menyiapkan beragam argumen terkait uji materi tersebut nantinya.
Menjadi sebuah hal yang menarik karena ternyata tidak semua partai mendukung apa yang dilakukan oleh Yusril tersebut. Hal ini tentu saja wajar karena setiap partai tentu sudah memiliki banyak strategi karena sudah yakin bahwa UU tentang pemilihan presiden dan wakilnya tersebut tidak akan direvisi. Isi uji materi itu sendiri secara sederhananya ialah agar pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan sebelum pemilu legislatif, atau mungkin bisa digabungkan. Tentu saja secara makna, hal ini tidak melanggar konstitusi, karena memang dalam konstitusi tidak mengatur apakah pemilu harus legislatif dahulu baru eksekutif. Jika uji materi ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka tentu saja KPU harus merevisi sejumlah jadwal kegiatan pemilunya, khususnya yang berkaitan dengan segi administratif. Tidak hanya KPU, partai politik peserta pemilu juga mau tidak mau akan melakukan penjadwalan ulang setiap strategi yang dimilikinya, bahkan juga mungkin akan membuat dana yang dikeluarkan oleh para caleg menjadi bertambah.
Pilpres sebelum Pileg ?
Esensi dari penyeleggaraan pemilu legislatif sebelum pemilu presiden ialah agar partai yang mencalonkan jagoannya dalam pilpres, jika menang tidak akan terlalu bermasalah nantinya saat membuat kebijakan, karena paling tidak dia juga memiliki suara di parlemen. Meski demikian, hal ini sebenarnya lebih mencerminkan sifat sistem pemerintahan parlementer dan bukan presidensiil. Tidak heran jika hingga kini kitapun masih memakai sistem pemerintahan gado-gado yaitu campuran antara parlementer dan presidensiil. Mengapa saya katakan demikian, karena istilah koalisi sebenarnya hanya dikenal di negara yang menganut sistem parlementer, dimana wakil rakyat di negara tersebut cukup punya kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan publik dibandingkan eksekutif. Sedangkan dalam sistem presidensiil, seharusnya eksekutif memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan legislatif, karena legitimasi langsung dari rakyat.
Lalu apa untung dan ruginya dengan uji materi yang dilakukan Yuzril ini ? Untungnya ialah jika dikabulkan maka partai yang lolos ikut pemilu semuanya berhak untuk mencalonkan kadernya sebagai capres dan cawapres tanpa syarat harus memenuhi standar 20 % suara di parlemen. Hal ini tentu saja mengakibatkan masyarakat akan memiliki pilihan capres/cawapres lebih banyak dan dapat lebih mengakomodir suara publik, khususnya bagi calon yang terpilih nantinya. Ruginya ialah biaya pemilu akan membengkak dan tentu saja biaya partai politikpun akan makin tinggi. Jika hal ini terjadi, maka kemungkinan tingkat money politik sangat besar dan bahkan bisa jadi potensi konflik nantinya juga makin besar, karena pasangan capres yang jumlahnya bisa jadi sebanyak jumlah partai tentu saja memiliki massa masing-masing yang militan. Lalu manakah yang akan diputuskan oleh MK ? Mari kita tunggu saja, karena yang lebih dag dig dug pasti partai politik dan capresnya, apakah anda salah satunya ?
15 Desember 2013
Danny Prasetyo

0 komentar:
Posting Komentar