Gambar: Metronews.com
Politik itu memang licik; maka orang yang terjun ke dunia politik harus licik, minimal mampu membedakan mana yang licik dan mana yang tulus. Dalam politik, hari ini kawan besok lawan; pagi hari berjanji sore lupa. Kejam, kata orang. Oleh karena itu, hanya rasa kasihan yang ada ketika mendapati Rhoma Irama bangga digadang-gadang PKB sebagai capres di pemilu 2014.
Siapa yang tidak kenal sosok Rhoma Irama, penyanyi dangdut yang piawai memainkan gitar dan menulis syair. Sebagian besar syair gubahannya sangat sarat dengan makna dan kritikan sosial yang menghimbau atau mengajak penikmat lagu-lagunya untuk melaksanakan yang hak dan meninggalkan yang bathil.
Sebagai penyanyi kawakan popularitas Rhoma tidak diragukan; penggemarnya tersebar di seantero pelosok negeri bahkan hingga ke mancanegara. Sebagai tokoh populer, tentu mudah bagi seorang Rhoma memberi pengaruh kepada para penggemarnya untuk melakukan hal yang dituangkannya dalam syair lagunya. Bahkan Ahok, wakil gubernur DKI, takut dan tidak mau berjudi gara-gara mendengar lagu Rhoma yang berjudul “Judi”.
Popularitas tersebut rupanya dihitung dengan cermat oleh para politisi PKB untuk memanfaatkannya. PKB, partai gurem yang tetap eksis karena selalu ndompleng kekuasaan, terutama setelah memecat Gus Dur, adalah partai yang hidup segan mati tak mau. Betapa tidak!
Secara asal usul, PKB adalah partai debutan NU, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Dengan embel-embel NU di belakangnya, seharusnya partai ini bisa menjadi partai terbesar di republik ini. Tetapi kenyataannya, partai ini selalu terengah-engah untuk sekedar memenuhi tresh hold jumlah suara yang ditetapkan UU Pemilu. Terutama setelah partai ini dinakhodai oleh Muhaimin Iskandar, para generasi muda NU justru lebih memilih bergabung dengan partai lain daripada dengan PKB. Bagi mereka PKB adalah partai yang tidak jelas jenis kelaminnya.
Dalam situasi minim tokoh dan krisis kharisma para elitnya tersebut, PKB putar otak dan menemukan sosok Rhoma Irama sangat ideal untuk dijadikan marketing booster. Kehadiran Rhoma di PKB membuat PKB menjadi topik perbincangan publik dan media.
Strategi menggadengkan Rhoma Irama dan menggadang-gadangnya sebagai capres PKB di 2014 tentu merupakan strategi cerdas tetapi sekaligus strategi licik mengingat secara kapasitas Rhoma Irama tentu tidak “layak” menjadi presiden RI.
Dalam berbagai forum dialog yang ditayangkan oleh stasiun TV, publik dengan mudah bisa menilai bagaiamana wawasan Rhoma Irama dalam bidang politik, ketatanegaraan dan isu-isu nasional lainnya. Belum lagi secara bukti, Rhoma Irama juga belum pernah menjadi pejabat publik (kecuali menjadi anggota MPR di zaman Soeharto) yang membuat publik bisa melihat apa yang telah atau pernah dikerjakan oleh Rhoma untuk kesejahteraan rakyat.
Terjun ke dunia politik bermodalkan popularitas tetapi minim kapasitas pasti menjadi “makanan empuk” para politisi lihai. Contoh paling aktual dapat dilihat dari banyaknya figur artis atau selebriti yang terjun ke dunia politik dan menjadi wakil rakyat tetapi tidak pernah terdengar suaranya di gedung parlemen, kecuali tersangkut skandal korupsi seperti Angelina Sondakh.
Memang semua kemungkinan bisa saja terjadi, apalagi politik adalah dunia abu-abu yang penuh kemungkinan; dunia yang membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Tetapi untuk kursi presiden RI, sulit rasanya melihat kemungkinan Rhoma Irama menang dan jadi presiden.
Jadi sadar nggak ya kalau Rhoma Irama itu sebenarnya hanya dimanfaatin Muhaimin dan elit partai untuk marketing strategy pendongkrak popularitas PKB?

0 komentar:
Posting Komentar