harga genset murah

Singapura Membayar Mahal Ekonominya


Siapa pernah mengira Singapura sampai bisa mengalami kerusuhan yang melibatkan 400 orang para pekerja asal Bangladesh melawan polisi Singapura 3 hari yang lalu. Terjadi di Little India, kawasan bisnis terbesar di Singapura yang selalu padat dengan wisatawan dari berbagai negara, sekaligus tempat nongkrong banyak warga lokal di sana. Kerusuhan yang juga ditandai dengan dibakarnya beberapa mobil dan ambulans milik kepolisian di Singapura tentu hal yang mengejutkan.


Singapura terpandang sebagai negara-kota yang tingkat kepatuhan warga terhadap hukum sangat tinggi. Ketertiban hukum dan penegakan hukum yang sangat rigid dan kuat di negara kecil ini menjadi bahan bakar bagi bertumbuhnya ekonomi negara ini. Pertumbuhan ekonomi super tinggi dan super cepat di Singapura memang dikunci dengan cara kepastian hukum yang sangat tinggi. Pantas jika dalam tiap launching indeks korupsi global, Singapura termasuk yang paling bersih bersama negara-negara Skandinavia.


Begitu juga dengan tingkat kenyamanan bisnis, Singapura tergolong langganan sebagai negara dengan lingkungan bisnis paling diminati dunia. Lumrah jika banyak perusahaan asing, sekalipun operasi bisnisnya di Indonesia, mulai dari tambang, perbankan, hingga kelapa sawit, tapi induk kantornya ada di Singapura.


Namun capaian ekonomi yang super cepat dan super tinggi ini belakangan ditengarai mengalami paradoks sosial di dalamnya. Semakin maju ekonomi warganya, semakin kaya warganya, namun tingkat kepuasan dan kenyamanan sosial di antara sesama warga rupanya semakin bermasalah.


Beberapa tahun terakhir, semakin sering terdengar ada banyak suara-suara protes warga asli Singapura yang keberatan dengan ‘tsunami’ warga asing yang jadi pekerja, baik yang rendahan maupun yang menengah ke atas, dan mereka merasa terampas hak-hak istimewanya sebagai warga asli Singapura. Stereotype kepada warga asing ini adalah label sebagai kalangan yang tidak memahami ke-Singapura-an dan tidak akan pernah mau menjadi ‘orang Singapura’.


Namun di sisi lain, kebijakan pemerintah Singapura memang masih tetap mengijinkan negaranya menjadi negara jujukan para pekerja dari luar negeri, terutama para pekerja kasar, dari buruh hingga tenaga kerja wanitanya, karena sektor pekerjaan ‘rendah’ ini orang Singapura asli tidak menginginkan untuk menjadi pilihan pekerjaannya. Walhasil, pekerjaan ‘rendah’ ini sebagian besar dikuasai oleh mereka yang berasal dari India bagian selatan, Bangladesh, Indonesia, dan Filipina.


Begitulah paradoks komposisi sosial Singapura membangun ekonominya yang advanced. Protes warga asli Singapura dan semakin membludaknya warga asing yang bekerja di negara mungil ini seperti menemukan momennya dan akhirnya meledak di Little India 3 hari yang lalu.


Cara berpikir hukum pasti akan menyalahkan mereka para pekerja, sebagian besar asal Bangladesh, karena telah melakukan kerusuhan dan melawan aparat negara. Terlebih lagi, cara berpikir ini juga sudah siap dengan pre-text bahwa kerusuhan itu karena dipicu oleh konsumsi alkohol berlebihan oleh para pekerja itu sehingga jadi penyulut kerusuhan.


Namun cara berpikir sosial menjadi sangat berbeda. Jika memang Singapura jadi negara yang tingkat rigiditas hukumnya sangat-sangat tinggi dan warganya terpandang sebagai warga negara yang memiliki kepatuhan yang juga tinggi, lantas kenapa kerusuhan di Little India bisa demikian massif dan warga melakukan secara terang-terangan perlawanan terhadap aparat negara?


Paradoks sosial dan sentimen “Singapura dan non-Singapura” yang tergambar dalam capaian ekonomi tingkat advanced tadi menjadi salah satu jawabannya. Tingkat ekonomi Singapura yang sangat tinggi ternyata harus dibayar mahal dengan konflik sosial yang sewaktu-waktu bisa meledak kapanpun.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/11/singapura-membayar-mahal-ekonominya-617400.html

Singapura Membayar Mahal Ekonominya | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar