harga genset murah

Wiranto-HT Demi Hanura


Jenderal (Pur) Wiranto kembali mencoba peruntungan, maju nyapres. Melalui Partai Hanura yang didirikan, Wiranto menggandeng Harry Tanu yang cabut dari Partai Nasdem. Ini untuk kali ketiga Wiranto maju. Jika di Pemilu sebelumnya Wiranto menjadi pendamping Jusuf Kalla (JK), ini kali sebagai calon orang nomor satu di Indonesia.


Sampai tutup tahun 2013, belum ada lembaga survey yang memprediksi Wiranto menang dalam perebutan RI-1 tahun 2014 ini. Juga belum ada yang mengunggulkan Partai Hanura di urutan pertama, atau setidaknya meramal Partai Hanura bakal mampu memenuhi Presidential Threshold (PT) sebesar 20%.


Itu artinya Wiranto ditafsir bakal kalah. Partai Hanura harus menggalang mitra koalisi, berdagang dengan partai lain. Dan jika itu yang terjadi, maka paling banter Partai Hanura hanya menyodorkan jagonya sebagai pendamping. Bukan untuk capres, tetapi sekadar cawapres.


Mungkin itu tidak menjadi soal bagi Partai Hanura. Tapi jadi persoalan besar, ketika partai ini sudah punya sepasang jago. Partai ini mendeklarasikan Wiranto sebagai capres, sepaket dengan cawapres Harry Tanu. Pasangan ini tidak bisa diganggu-gugat karena terlahir dari simbiose mutualisme. Kokoh kukuh. Se-dinamis apapun kondisinya, slogan Gombloh ‘biarpun bumi tergoncang’, Wiranto-HT tetap menyatu.


Tetapi jika Wiranto-HT tak bisa memenangi pilpres, mengapa mereka harus bersatu? Adakah mereka tidak tahu itu? Apa pula untungnya kalau Partai Hanura sendiri juga tidak mampu mengumpulkan 20% PT untuk memuluskan jalan Wiranto-HT sebagai calon untuk diadu? Jawabnya, inilah enaknya bertransaksi dengan orang-orang yang punya kesadaran berpolitik.


Wiranto adalah tokoh yang paham itu. Saya pernah bertamu di rumahnya, larut malam, pribadi, dan bicara kansnya menjadi orang nomor satu di negeri ini. Kala itu Wiranto belum mendeklarasikan diri sebagai capres, dan tim-nya pun belum turun untuk melakukan sigi.


Sebagai ‘sesama Jawa’ saya bilang secara euphemistis, bahwa Gunung Merapi belum memberi tanda-tanda akan terjadinya suksesi. Sang Jenderal dengan seloroh menjawab, bagaimana kalau Gunung Merapi didinamit saja agar meletus. Dialog itu kemudian berkembang seperti guyonan, tetapi bagi ‘sesama Jawa’ saling paham esensi yang sedang dibicarakan.


Wiranto sadar bahwa dia akan kalah jika nyapres. Hanya ada satu yang menguati batinnya, bahwa dia bisa saja menang jika maju. Itu adalah semangat, keberanian, dan ketegasan yang dimiliki. Lain itu tidak, karena kala itu suara Partai Hanura juga masih kecil. Amat kecil.


Saat pamitan pulang, di tengah rintik hujan, saya bilang pada Sang Jenderal dengan kalimat denotatif. ‘Pak Wiranto itu tidak marah saja seperti tentara, tak terbayang kalau Pak Wiranto marah’. Habis itu saya salaman. Saling mengucap terimakasih. Mengucap salam, dan pulang.


Beberapa bulan kemudian tim survey Wiranto turun ke lapangan. Dari berbagai daerah memberi laporan tentang harapan, ungkapan, dan penilaian terhadap Sang Jenderal. Tak disangka, ucapan saya tadi ternyata menjadi sari dari sigi itu. ‘Pak Wiranto itu tidak marah saja seperti tentara, tak terbayang kalau Pak Wiranto marah’.


Saya ketemu dengan Habib Alawy Madura dan diberitahu itu. Saya pun diminta Habib untuk ketemu Pak Wiranto untuk bicara lagi. Tapi pemilu kian dekat. Tim sudah tersusun semua. Akan tidak baik jadinya kalau ketemu dan bicara lagi. Dan Wiranto pun akhirnya tidak lagi nyapres, tetapi nyawapres dengan Jusuf Kalla (JK) sebagai capresnya. Mereka kalah!


Tapi apa hubungannya itu dengan nyapresnya Wiranto kali ini? Dan apa pula manfaat penyatuan Wiranto dengan Harry Tanu? Inilah politik. Tidak sejalan tetapi harus berjalan beriringan tidak jadi soal. Itu demi tujuan. Tujuan kelompok, dan tujuan masing-masing pemimpin dari kelompok itu.


Wiranto jelas butuh HT untuk Hanura. Logistik partai ini akan cukup untuk memenuhi kebutuhan besar. Dan itu terlihat dari aksi Partai Hanura di berbagai daerah. Hampir tiap jalan tol dikuasai partai ini. Hampir tiap daerah gemuruh dengan program Hanura. Juga terlihat dari grafik partai yang terus menaik dan tambah dikenal. Inilah keuntungan Hanura dengan masuknya HT.


Sedang bagi HT, Hanura adalah investasi kedua. Investasi pertama diberikan pada Partai Nasdem. Dia bisa belajar banyak soal politik pada Surya Paloh. Dikreasi dengan sangat bagus oleh bos Metro Tivi itu. Dan ini adalah keuntungan besar yang didapat HT dari Nasdem.


HT sadar masuknya dia ke dalam Hanura bukanlah untuk kalah dan menang. Bagi HT Hanura adalah jembatan menuju masa depan. Dia mendirikan ormas. Membangun jaringan internal disisipkan ke Nasdem dan sekarang menyusup di Hanura. Dan kelak gerbong-gerbong itu akan ditarik lokomotif keluar sarang jika saatnya tiba.


Itulah dasar penyatuan Wiranto-HT nyapres-cawapres kali ini. Keduanya sadar akan kalah. Tetapi keduanya paham, bahwa penyatuan itu akan mendongkrak suara Partai Hanura. Akankah benar seperti itu? Mari kita ikuti episode berikutnya setelah Pemilu usai.


Catatan : Artikel ini diambil dari tulisanku di Majalah Agrofarm, edisi Desember 2013



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/15/wiranto-ht-demi-hanura-616751.html

Wiranto-HT Demi Hanura | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar